Jambi, Walhi Jambi mengungkapkan rasa sesalnya atas keterlibatan rekan-rekannya sesama lembaga NGO lingkungan dalam Restorasi Ekosistem di bawah bendera PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT) di kawasan hutan desa Pemayungan kecamatan Sumay Kabuaten Tebo.
“Kita rasa kita wajar menyayangkan kehadiran rekan-rekan kita sesama NGO di konsorsium PT ABT yang hendak menyerobot kawasan hutan yang selama ini dikelola dengan baik oleh masyarakat setempat. Semestinya persoalan penolakan masyarakat terhadap keberadaan koorporasi konsorsium ini tidak terjadi,” kata Musri Nauli, Direktur Walhi Jambi, Kamis (04/02).
Pasalnya, tambah dia, sebagai NGO yang sebelumnya juga adalah para aktivis gerakan konservasi lingkungan sudah pastinya teramat mengetahui mekanisme, regulasi, maupun situasi kondisi sosial masyarakat, pendeknya mereka pasti sudah tahu apa yang semestinya dilakukan terkait hal transparansi pemberdayaan masyarakat dan adat.
“Mereka pasti tahu sebelum munculnya sebuah konsep haruslah terlebih dahulu melakukan komunikasi kepada masyarakat, mereka pasti tahu jika masyarakat adat memiliki konsep pengelolaan yang jauh lebih efektif dan lestari justeru itu yang harus dikukuhkan, bukannya menumpang tindihkan konsep pengelolaan baru dengan cara paksaan layaknya apa yang dilakukan perusahaan atau imperialis itu. kok itu dilakukan,” urainya.
Menyadari pola kerja yang dilakukan PT ABT menyerupai prilaku perusahaan akhirnya para aktivis NGO yang termasuk dalam konsorsium tersebut terlihat mulai menarik diri secara teratur, seakan baru menyadari kekeliruannya yang kini telah digiring menuju koorporasi.
Memanfaatkan surat izin seperti Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) yang dilakukan PT ABT, dan melakukan intimidasi baik secara langsung maupun tidak kepada masyarakat, mengabaikan statuta sosial dan adat masyarakat setempat, memperalat aparat keamanan untuk memuluskan atau mengamankan kepentingannya, membujuk dengan mengiming-imingi berbagai janji kesejahteraaan kepada masyarakat adalah cara lama yang selalu giunakan koorporasi selama ini.
“Ada satu klausa yang teramat berbahaya yang juga dipakai dalam PT ABT ini yakni, klausa yang berbunyi PT ABT berkewajiban menjaga kelestarian kawasan dari perambah. Ini adalah senjata ampuh koorporasi selama ini, dengan klausa seperti itu sudah seberapa banyak warga yang jadi korban, yang mati atau dipenjara hanya karena mengambil kayu bakar dalam kawasan mereka,” sebut Nauli.
Klausa itu, imbuhnya, jelas-jelas telah menapikan keberadaan masyarakat setempat, yang mempunyai adat kuat dan telah terbukti ratusan tahun mampu menjaga hutan dikawasannya dengan sistem adat mereka sendiri, perusahaan membuang semua nilai-nilai yang terkandung dan hidup di tengah masyarakat dan dianggap kolot, kuno tak berguna lagi.
Perusahaan samasekali tak peduli pada luhurnya nilai budaya atau sejarah masyarakat setempat, tak peduli masyarakat Pemayungan telah berdiam di kawasan itu semenjak penjajahan Belanda dulu, bahkan penjajah pun pada waktu itu mengakui dan menghargai keberadaan mereka.
Perusahaan, tambah dia, mengangkangi hak masyarakat hanya dengan surat sakti bernama izin, padahal dalam kesemestiannya tidak lah pernah sebuah ‘izin’ bisa mengalahkan ‘hak’.
“Izin justeru menghapus keberadaan hak ulayat, itu namanya penjajahan. Kasihan masyarakat yang selama ini kita perjuangkan haknya, sekarang dengan dalih konservasi ekosistem bergabung dalam satu konsorsium menyerupai perusahaan justeru kini beralih jadi korban. Amat ironi ketika situasi ini menjadi kapitalisme konservasi, dan kita ada di dalamnya,” sebutnya.
Menurut Nauli, semestinya rekan-rekannya sesama NGO bisa belajar dari apa yang telah dijalani oleh PT REIKI, gerakan konservasi serupa sebelum mereka, yang sudah berjalan dengan cara yang benar dan semestinya pun masih menemui kendala berat dalam perjalanannya.***
Sumber : jambiaktual.com