Sumatera: Peringatan bagi Kabinet Jilid II SBY dan COP 15 Copenhagen


Siaran Pers, 6 Nopember 2009

Kami, Organisasi Non Pemerintah dan Masyarakat korban dari 10 propinsi di Pulau Sumatera dan Jawa telah menjadi saksi memburuknya kondisi social ekologis pulau Sumatera dalam lima tahun terakhir. Pemerintahan SBY dan wakil rakyat di Senayan sengaja membiarkan Sumatera berada dalam ancaman bencana akibat salah urus pengelolaan sumber daya alam diatas pulau yang paling beresiko bencana di negeri ini. Lewat beragam bencana ekologis dan konflik yang telah terjadi, pulau Sumatera memberikan peringatannya kepada kita. Perjalanan salah urus sejak masa kolonial hingga rezim pemerintahan SBY ini bisa diikuti jejaknya dari perlakuan para
penguasa yang terus mengabaikan syarat-syarat keselamatan warga penguhuni pulau. Atas nama pembangunan,kekayaan pulau Sumatera dieksploitasi sebagai bahan mentah memenuhi kebutuhan Negara-negara industri dengan ongkos yang dibebankan kepada penghuni pulau. Akibatnya, kini krisis listrik akut terjadi di seluruh propinsi, deforestasi tiap tahunnya mencapai 40 persen laju deforestasi Indonesia dan hampir separuh propinsi mengalami kebakaran hutan.



Kerentanan pulau Sumatera karena berada pada lempeng Indo australia dan Eurasia serta jalur vulkanik yang rawan gempa, telah diperburuk oleh tata kelola pulau yang berpihak pada pemodal. Terbukti, sepanjang 2005 – 2009, sedikitnya 100 gempa telah terjadi di kawasan ini, belum termasuk longsor di Bohorok Sumatera Utara pada 2009 yang membunuh 91 jiwa dan 404 rumah hilang atau yang terbaru, banjir di mandailing Natal yang membuat 4300 orang mengungsi,ratusan rumah tersapu air dan 2 orang meninggal.


Pulau Sumatera menjadi tempat nyaman bagi industri boros lahan, air dan energi, yang tingkatnya telah mengancam ekosistem-ekosistem yang genting di pulau ini. Perusakan terjadi di kawasan pegunungan Bukit Barisan yag menyangga hulu-hulu sungai pulau Sumatera, deforestasi hutan-hutan dataran tinggi[ii] hingga perusakan kawasan rawa gambut dan hutan bakau di pesisir timur yang rata-rata mencapai 800 ribu ha tiap tahunnya. Kini, lebih 500 perijinan Kuasa Pertambangan batubara, emas dan pasir besi dikeluarkan tanpa mempertimbangkan kerentanan pulau.


Pembakaran hutan untuk pembukaan lahan-lahan sawit terjadi pada lahan PT RAPP, IKPP dan anak-anak perusahaannya. Telah membuat warga menanggung ongkosnya, di Pekanbaru tercatat Mei-Agustus 2009 jumlah korban penyakit ISPA karena asap kebakaran mencapai 10.094 orang. Pembakaran hutan antara 2007 hingga 2009 tersebar di hampir separuh proinsi di Sumatera dengan sedikitnya 18 ribu titik api.


Ironisnya, otonomi daerah gagal menjawab harapan kesejahteraan penghuni pulau, sejak disabotase para penguasa dan elit politik di daerah dan menjadi alat ampuh meningkatnya eksploitasi SDA, angka konflik dan korupsi. Salahsatunya, pada 2008, skandal korupsi alih fungsi 600 ribu hutan lindung di Tanjung api-api kabupaten Musi Banyuasin – yang mekar tahun 2002, menjadi kasus yang menyita perhatian publik nasional. Padahal sepuluh tahun terakhir, lebih 2 kabupaten baru lahir tiap tahunnya di Sumatera.


Kondisi ini tak juga membaik bersama pemerintahan SBY-JK lima tahun lalu. Justru perampasan lahan kelola rakyat kerap terjadi. Salah satunya di Riau 18.890 ha di pulau rangsang milik 1.665 Jiwa dirampas, di Sumatera Selatan, di 600 ribu ha dirampas dan dikonversi menjadi kebun sawit. Ancaman perampasan juga terjadi oleh 230 perusahaan pemegang Kuasa pertambangan yang tersebar di 10 kabupaten. Akibatnya, lahan-lahan pertanian produktif milik warga menciut drastis. Di Riau, rata-rata setiap keluarga hanya memeiliki 0,46 ha, luasan yang tak mungkin mensejahterakan para petani di sana. Akibatnya, konflik tenurial dan pengelolaan SDA terus memburuk. Sepanjang 2000- 2007 tercatat 224 konflik Pengelolaan SDA terjadi Jambi bersama represi aparat keamanan, kriminalisasi warga, perusakan kawasan resapan air dan sumber-sumber kehidupan masyarakat dan pencemaran lingkungan. Bengkulu sendiri konflik antara rakyat dengan perusahaan yang melakukan perampasan terhadap wilayah penyangga kehidupan terjadi di kabupaten Mukomuko untuk kasus tanah dan kasus penambangan serta kasus kawasan hutan yang di konversi menjadi daerah penambangan pasir besi di kabupaten Seluma.


Celakanya, Beban warga di kampung makin berat, bersama dampak perubahan iklim yang makin dirasakan nelayan danpetani. Banjir Rob atau banjir air pasang kini jadi langganan 2 kali setahun di Pangkal Balam dan kampung nelayan sungai liat, telah menenggelamkan sedikitnya 500 rumah.


Beragam krisis diatas adalah peringatan pulau Sumatera kepada para penghuninya untuk segera awas, jika tak ingin jatuh dalam krisis yang lebih dalam, dan tak tertanggungkan.


Kami menyembut peringatan awas ini. Tanggal 3 – 5 Nopember 2009, kami telah melakukan sebuah workshop yang menyusun strategi bagaimana menanggapi kondisi ini. Kami menemukan krisis makin parah karena pulau Sumatera bagai diurus secara administrasi bukan mengurius ekologi sosial untuk keselamatan pulau. Kami percaya, seluruh penghuni pulau harus bekerjasama berupaya membalikkan krisis di Sumatera.


Kami percaya upaya penyelamatan pulau Sumatera hanya bisa dilakukan dengan merubah paradigma pengurusan skala pulau, dengan meletakkan kerentanan pulau dan keselamatan warga sebagai syarat utama. Jika tidak.Pemerintah SBY dan jajaran gubenur se-Sumatera sengaja meletakkan penghuni pulau dalam ancaman bencana berkelanjutan.

Kami prihatin terhadap jajaran kabinet SBY Jilid II dan penyelenggaraan National Summit, serta menuntut dihentikannya agenda pembangunan serta inisiatif-inisiatif nasional yang justru mengancam keselamatan dan produktivitas warga di Kampung, 


Kami mendesak Gubenur se Sumatera segera menyusun protokol-protokol keselamatan bagi pengurusan pulau Kami menyerukan kepada para pemimpin dunia yang akan bertemu akhir 2009 di pertemuan COP 15 Konvensi Perubahan Iklim Copenhagen Denmark, untuk berhenti memberikan jawaban-jawaban palsu dalam mengurangi emisi karbon dunia. Kami menolak, hutan-hutan tersisa di Pulau Sumatera menjadi korban pencucian dosa negara-negara industri yang sejak lama menjadikan pulau ini lokasi ekstraksi bahan mentah dan memperkaya korporasi di Eropa, Amerika Serikat dan Asia.



Hormat Kami,


1.Zenzi Suhadi, Direktur Walhi Bengkulu 2.Arif Munandar, Direktur Walhi Jambi 3. Sahad Tarida, Walhi Sumatera Utara, 4.Oslan Simangunsong, Organisasi Konservasi Rakyat, Sumatera Utara 5.Ady Saputra, Kelopak,Bengkulu 6.Supintri, Kanopi, Bengkulu 7.Barhan, Genesis, Mukomuko Bengkulu 8.Ratno Budi P, Simpul Walhi Bangka Belitung 9.Dahlan Muhisa, Sahara Aceh 10.Sofyan, Warga Korban PT Arun, Aceh 11.Hery Maryanto,
Walhi Lampung 12.M. Fadli, Walhi Sumatera Selatan 13.Hendrik Siregar, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM),Jakarta 14.Chalid Muhammad, Institut Hijau Indonesia,jakarta 15.Riza Damanik, Aliansi rakyat Untuk keadilanPerikanan (KIARA), Jakarta 16.Andre S Widjaya, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta 17.Hartanto, Ulayat Bengkulu,18.Hendro Sangkoyo, Sekolah Ekonomi demokratik, Jakarta 19.Takril Hailani, warga Pasar Talo,Bengkulu 20.Salikin, warga Penago Baru, Bengkulu 21.Saparudin, warga Rawa Indah, Bengkulu 22. Jaya, warga Rawa Indah, Bengkulu 23.Sailun, warga Penago Baru, Bengkulu 24.Hendra, Lembaga Pendidikan Islam Mukomuko,
Bengkulu 25.Firmansyah, Walhi Bengkulu 26.Musri Nauli, Walhi Jambi 27.Husni Thamtin, Pesta Pinse, Jambi 28.Hendro Setiawan, KSKP Sumatera selatan29. Chandra, Walhi Riau 30.Eko Teguh Paripurno, PSMB UPN Veteran Jogjakarta 31.Siti maimunah, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Jakarta 32.Ali Akbar, WALHI EKNAS.

Kamu Harus Baca Juga ini :

Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang

Siaran Pers Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang Jambi- Problematika industri pertambangan Batubara dan proses pengangkutannya masih menjadi permasalahan serius yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Pasca dilantiknya Gubernur...

Read More