STATUS LINGKUNGAN HIDUP DI JAMBI

Untuk mengukur status lingkungan  hidup di Jambi dilakukan dengan berbagai instrument. Instrumen pertama digunakan adalah merujuk kepada UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup). Didalam mekanisme ini digunakan dengan istilah “daya dukung[1] dan daya tampung[2]” lingkungan hidup. Mekanisme ini merupakan salah satu bentuk “Tindakan pengaman akibat pembangunan yang berdampak kepada lingkungna hidup” (safe guard).
Instumen Kedua adalah membicarakan hak. Dengan mengukur instrument mutu lingkungan hidup berdasarkan HAM. Didalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Ketiga. Mengukur instrument mutu lingkungan hidup berdasarkan pengetahuan  (scientific). Instrument yang digunakan dengna mengggunakan indeks udara, air dan tanah. Hasil pengukuran dari berbagai peristiwa memberikan penilaian dari lingkungan hidup dan cara beradaptasi masyarakat (mitigasi) menghadapi perubahan lingkungna hidup.
Indeks yang digunakan berupa udara ketika musim panas yang kemudian mengakibatkan kebakaran hutanair di sungai batanghari yang diindikasikan “tercemar” limbah berbahaya seperti merkuri hingga kesuburan tanah akibat alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit atau pertambangan dan penggunakan pestisida.
Keempat. mengukur instrument mutu lingkungan hidup dengan kondisi faktual.
Mekanisme ini digunakan dengan menggali informasi kunci di tengah masyarakat. Baik terhadap penurunan mutu lingkungan dari kehidupan sehari-hari, hilangnya biodiversity hingga tumbuhan endemik.
Selain itu juga, perubahan dan penurunan mutu lingkungan hidup juga dilihat dari dua aspek. Pertama. Akibat campur tangan manusia[3]. Kedua. Perubahan iklim global yang mempengaruhi lingkungan hidup di Jambi[4].
Dengan menggunakan empat instrument mutu lingkungan hidup, maka berdasarkan hasil pertemuan berbagai pemangku kepentingna (stakeholders) dan analisis dokumen, maka didapatkan hasil sebagai berikut :
1.     Bahwa penurunan mutu lingkungan hidup dimulai dari penghancuran hutan (deforestrasi).
Laju kerusakan hutan mencapai 871.776 hektare (ha) selama tiga tahun terakhir[5]. Angka ini melebihi angka deforestrasi nasional yang mencapai 613 ribu hektar.[6]
Laju kerusakan hutan (deforestrasi) menyebabkan luas lahan kritis di Provinsi Jambi pada tahun 2007 yaitu 618.891 ha (kritis 614.117 ha dan sangat kritis 4.774 ha). Pada tahun 2011 luas lahan kritis meningkat menjadi 1.420.602 ha (kritis 341.685 ha dan sangat kritis 1.078.917 ha)[7].
Dalam catatan Walhi, ada tiga periodesasi. Pertama. Penghancuran hutan untuk industri kehutanan (HPH dan HTI[8]). Kedua. Pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit[9]. Ketiga Penghancuran hutan untuk pertambangan.
Semua aktivitas manusia kemudian menjadikan “rakyat hanya menikmati debu”. Lingkungan hidup tidak lagi bisa diperbaiki. Industri keruk bumi kemudian meninggalkan lubang-lubang yang menganga tanpa reklamasi tambang.
2.     Berkurangnya tutupan hutan primar (cover forest) dan deforestrasi kemudian menyebabkan berkurangnya fungsi hutan sebagai penahan air.
Akibatnya, daya dukung hutan menjadi berkurang. Selain itu, penggundulan hutan dapat menyebabkan terjadi banjir[10] dan erosi. Daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah mengalami kebanjiran kemudian mengalami kebanjiran setiap musim hujan tiba. Selain itu timbulnya konflik satwa dengan manusia. Konflik Gajah di sekitar Lanscape Bukit Tiga Puluh di sekitar Taman nasional Bukit Tigapuluh daerah Tebo sering mengalami konflik dengan manusia. Ada sekitar 150 konflik setahun.[11] Sedangkan seringnya peristiwa harimau masuk kampung dan mengakibatkan korban manusia menimbulkan konflik 50 kali setahun. Munculnya konflik satwa disebabkan areal kawasan habitat satwa sudah semakin menyempitnya dengan pembukaan hutan oleh perusahaan perkayuan, pembukaan kebun sawit skala besar dan pertambangan.
3.     Selain mengakibatkan deforestrasi juga disebabkan “rakus lahan”
Penguasaan kawasan hutan sekitar 40 % dari wilayah Propinsi Jambi ternyata tidak diimbangi dengan pemberian izin kepada masyarakat[12]. Masyarakat yang telah berada dan sekitar hutan ternyata mengalami persoalan terhadap “ruang kelola rakyat”.
Belum lagi ketimpangan penguasaan lahan dapat dilihat 818 ribu hektar sudah ditetapkan untuk HTI[13].
Ketimpangan penguasaan lahan menyebabkan timbulnya konflik. Catatan Walhi Jambi[14] menunjukkan trend konflik dan membangun tipologi untuk melihat konflik. Data menunjukkan konflik yang terjadi sekitar 300 -an konflik. 80 konflik berkaitan dengan sumber daya alam dan 27 konflik diprioritaskan untuk diselesaikan[15].  Ketimpangan lahan di sektor Tambang seluas satu juta hektar[16] dan 515 ribu untuk
sawit[17].
4.     Perubahan lingkungan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan.
Perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup manusia menyebabkan adanya gangguan terhadap keseimbangan karena sebagian dari komponen lingkungan menjadi berkurang fungsinya. Perubahan lingkungan dapat terjadi karena campur tangan manusia dan dapat pula karena faktor alami. Dampak dari perubahannya belum tentu sama, namun akhirnya manusia juga yang mesti memikul serta mengatasinya.
5.     Perubahan mutu lingkungan hidup kemudian menyebabkan terganggunya mutu lingkungan hidup. Baik dari udara, air maupun kesuburan tanah.
Indek Udara disebabkan oleh kebakaran dan menyebabkan kabut asap. Kebakaran dan kabut asap 17 tahun[18]ini bukan saja merusak wilayah kelola bagi manusia yang menjadi pemangkunya, tetapi juga sesungguhnya memberi tahu kita bahwa jutaan manusia yang hidup dan tinggal ribuan kilometer dari kawasan hutan atau landscape tertentu, merupakan pihak yang juga bergantung atas kelestarian kawasan tersebut.
Kabut asap tidak hanya menyebabkan kerugian 44 trilyun rupiah[19]. Namun Kabut asap kemudian menyebabkan Putusnya mata rantai ekosystem lingkungan hidup. Rakyat menerima dampak asap.
Indeks udara (ISPU)[20] yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Jambi menunjukkan kadar ISPU mencapai angka 116 yang berarti udara Jambi sudah masuk dalam kategori tidak sehat (kadar ISPU 101 – 199)[21].
Sedangkan air Batanghari kemudian tercemar logam berat terutama Merkuri[22].
Sedangkan penggunaan benih unggul mengakibatkan turunnya Kesuburan Tanah. Begitu juga areal persawahan tahun 2012 tinggal 112.174,02[23]. Sedangkan lahan sawah irigasi terus menurun dari 33.839 ha (2008) tinggal 8.446 (2012). Begitu juga penurunan Luas Lahan Tegal/Kebun dari 393.112 (2011) tinggal 374.557 (2012). Angka yang tidak berbeda jauh yang disampaikan oleh Pemerintah Propinsi Jambi[24].
Selain itu juga penggunan dan pemilihan bibit unggul dalam satu kawasan lahan hanya ditanami satu macam tanaman (tipe monokultur). Selain mengurangi keanekaragaman sehingga keseimbangan ekosistem sulit untuk diperoleh, berbagai benih padi lokal menjadi hilang.
Ekosistem kemudian menjadi rusak. Hama kemudian menjadi “imun” sehingga tidak bisa lagi ditangani secara tradisional.
Berbagai aktivitas manusia seperti kebakaran, alih fungsi kawasan, penggunaan dan penggunaan bibit unggul dalam satu kawasan menyebabkan menurunnya kesuburan tanah.
Selain itu juga, penurunan kesuburan tanah disebabkan alih fungsi kawasan pertanian terjadi di berbagai daerah. Di Tanjabtim, dari 32 ribu hektar (2007) tinggal 27 ribu hektar (2012)[25].Sebagian besar telah beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan sawit dan karet. Yang paling parah adalah penurunan luas sawah menjadi pertambangan. Di Kabupaten Merangin sendiri telah berkurang dari 30 ribu hektar menjadi 26 ribu hektar atau 12,4 %[26].
Model pembangunan dengan  intensifikasi pertanian dengan cara panca usaha tani, di satu sisi meningkatkan produksi. Namun disisi lain justru merugikan.  Penggunaan pupuk dan pestisida dapat menyebabkan pencemaran. Dan kemudian juga mengakibatkan semakin menurunkan mutu kesuburan dan kualitas tanah.
Adanya kombinasi antara kebakaran, pembukaan lahan, alih fungsi lahan atau hujan deras menyebabkan kerusakan struktur tanah. Tanah akan menjadi disagregat dan kompak. Kerapatan tanah meningkat dan porositas menurun mengakibatkan kelembaban tanah dan kapasitas menyerap tanah menurun. Maka tanah-tanah Oxisol, Ultisol, Inceptisol dan tanah merah, akan terbentuk lapisan keras (hardpan). Tanah yang terbuka berulang-ulang akan terjadi pengeringan dan pembasahan, dan berakibat pada terjadinya erosi dan peningkatan aliran permukaan[27].
Namun tidak hanya menurunnya mutu lingkungna hidup di Jambi. Aktivitas manusia yang mempengaruhi lingkungna hidup juga menyebabkan konflik dan jatuhnya korban jiwa. Walhi menyebutkan sebagai bencana ekologi.
Banjir yang terjadi didaerah yang tidak termasuk kedalam kawasan yang  sering disinggahi banjir, kini sudah mulai terjadi.
Banjir meluapnya Sungai Batang Tembesi mengakibatkan sekitar 843 rumah terendam tahun 2013. Pada tahun 2015, Banjir ini kemudian menenggelamkan Desa-desa seperti Tiga Alur, Dusun Baru, Desa Bukit, Desa Perentak dan Desa Bungo Tanjung yang terletak di Kecamatan Pangkalan Jambi, Merangin. Banjir yang tidak perlu terjadi[28].
Begitu juga mulai berjatuhannya korban. 3 orang di Renah Pembarap, Merangin (Desember 2014), 2 orang di Renah Pembarap Merangin (Oktober 2014), 4 orang di Batangasai, Sarolangun (Mei 2014), 2 di Batangasai (Sept 2013). Angka-angka ini sekedar mewakili kesuraman pengelolaan buruk di sektor tambang yang berhasil diliput oleh media. Walh Jambi yakin, angka-angka itu seperti gunung es. Hanya tampak di permukaan.
6.     Hilangnya kekayaan alam yang spesifik, unik dan penting di lingkungan hidup.
Akibat aktivitas manusia yang mempengaruhi lingkungan hidup selain Berkurangnya mutu lingkungan hidup, juga menghilangkan kekayaan alam yang spesifik, unik dan penting di lingkungan hidup.
Terjadinya kebakaran di lahan gambut selain menghilangkan kawasan yang terbakar juga menghilangkan ruang hidup masyarakat yang tergantung dengan ekosistem gambut.
Di daerah-daerah yang hancur karena pertambangan, ikan semah[29] tidak lagi mudah ditemui. Ikan semah sebagai kekayaan biodiversity sudah mulai terancam dan sulit didapatkan.
Di Desa Teluk Raya, ikan sungai Kumpeh yang mudah didapatkan sekarang tinggal cerita kenangan[30]. Sungai Kumpeh yang memanjang dari perbatasan Kota Jambi hingga menuju ke Kawasan Berbak merupakan tempat ikan-ikan[31] yang sudah tercemar berbagai pestisida dan berbagai limbah pabrik.
Selain itu juga, akibat penggunan bibit unggul dan pestisida, bibit-bibit lokal menjadi hilang. Di Desa Lubuk Mandarsyah, dari 16 jenis bibit lokal, tinggal 2 bibit yang masih tersisa. Di Desa Sungai Bungur, bibit padi lokal seperti padi kuning biasa, padi pulut hitam, padi silang jambu, padi renik kanal, padi pulut turun daun tinggal cerita.
7.     Menimbulkan permasalahan di sosial budaya
Akibat aktivitas manusia yang mempengaruhi lingkungan hidup selain berdampak kepada lingkungan fisik alam seperti kerusakan ekosistem hutan (fauna dan flora), Punahnya flora & fauna yang dilindungi, Kerusakan ekosistem gambut, Pengendapan dan Pendangkalan sungai, Pencemaran Sungai Batanghari, Air bersih dan  sanitasi lingkungan perkotaan juga menimbulkan permasalahan sosial budaya.
Dampak yang paling terasa adalah tingkat pendidikan dan keterampilan yang masih rendah di sekitar wilayah industri ekstraktif, kesempatan kerja yang tidak terbuka untuk masyarakat lokal, kemiskinan di sekitar industri, tidak dihormatinya masyarakat adat dan persoalan sosial seperti kejahatan, prostitusi dan berbagai penyakit sosial lainnya.
Disekitar izin pertambangan tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Selain hasil tambang digunakan untuk konsumsi (seperti membeli televisi, rumah, kendaraan dan barang-barang konsumsif lainnya), tingkat kekerasan mulai terjadi di sekitar tambang. Beredarnya minuman keras, kejahatan kesusilaan, meningginya tingkat pencurian.




[1]               Segala yang ada pada lingkungan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, karena lingkungan memiliki daya dukung. Daya dukung lingkungannya adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya
[2]               Kemampuan lingkungan untuk menampung/menyerap zat energi dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukan di dalamnya .
[3]               Analisis terhadap campur tangan manusia terhadap hutan ditandai dengan berkurangnya tutupan hutan primer (cover forest), deforestrasi, pembukaan kebun sawit dan pertambangan.
[4]               Dari berbagai sumber disebutkan, perubahan iklim disebabkan Pemanasan global (global warming) merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect). Penyebabnya diakibatkan aktivitas manusia sehingga meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO₂), metana (CH₄), dinitrooksida (N₂O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Peningkatan suhu permukaan bumi rata-rata 2 derajat celcius. Sehingga bumi semakin panas. Padahal temperatur bumi harus stabil di 30 derajat celcius. Kenaikan suhu permukaan bumi menyebabkan tidak pastinya pola musim (pola hujan yang acak dan kemarau yang berkepanjangan) sehingga menyebabkan bergesernya jadwal musim tanam.
[5]               Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 272/Menhut/2/2012. Walaupun kawasan hutan mencapai 2,4 juta hektar dan berkurang hingga 2,1 juta hektar, namun yang tersisa berupa hutan hanya tinggal 1,3 juta ha. KKI Warsi juga mensinyalirkan kerusakan hutan hingga mencapai 800 ribu hektar.
[6]               SIARAN PERS Nomor: S. 409 /PHM-1/2014 tentang DEFORESTASI INDONESIA PADA TAHUN 2011-2012 HANYA SEBESAR 24 RIBU HEKTARE, Pusat Hubungan Masyarakat, Kementerian Kehutanan
[7]    Data dari berbagai sumber.
[8]    Areal HTI mencapai 853.430 ha. Data dari berbagai sumber. Diolah oleh Walhi Jambi.
[9]    Bahkan untuk pelepasan kawasan hutan hingga mencapai 1,3 juta ha.. Data dari berbagai sumber.
[10]            Banjir yang disebabkan meluapnya Sungai Batang Tembesi mengakibatkan sekitar 843 rumah terendam tahun 2013. Pada tahun 2015, Banjir ini kemudian menenggelamkan Desa-desa seperti Tiga Alur, Dusun Baru, Desa Bukit, Desa Perentak dan Desa Bungo Tanjung yang terletak di Kecamatan Pangkalan Jambi, Merangin. Diperkirakan setiap desa ada puluhan rumah terendam. Selain itu juga ratusan hektar sawah tidak bisa dimanfaatkan lagi.
[11] Dari berbagai sumber.
[12]            Bandingkan dengan pemberian kepada HTI seluas   818 ribu ha   dan masyarakat dengan skema Hutan Desa hanya mencapai 53 ribu hektar.
[13]            Dalam diskusi konflik di Walh Jambi, 5 Mei 2014, Ir. Irmansyah, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Jambi menyebutkan menyebutkan dari kawasan hutan 2,1 juta hektar, 1,2 juta telah ditetapkan. 800 ribu hektar telah diberikan kepada konsensi perusahaan. Sedangkan sisanya untuk kawasan yang harus dijaga. Dengan model 300 ribu hektar untuk kawasan restorasi yang telah diberikan kepada PT. REKI seluas 46 ribu hektar. Dan 400 ribu akan dicanangkan untuk masyarakat melalui model PHBM (Pengelolaan hutan berbasis masyarakat, yang biasa dikenal dengna model seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa dan hutan tanaman rakyat). Angka yang tidak berbeda jauh dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 272/Menhut/2/2012, luas kawasan hutan di Jambi sekitar 2,2 juta ha atau 42,31 % dari 5,2 juta ha luas wilayah Provinsi Jambi.
[14]            Catatan ini bersumber dari kliping media massa lokal sejak tahun 1999 – 2012, Walhi Jambi
[15]              Tim Penyelesaian dan Resolusi Konflik Propinsi Jambi, tahun 2010
[16]            Jaringan Advokasi Anti Tambang menyebutkan sekitar 406 konsensi tambang (22%) wilayah Jambi telah diberi konsensi pertambangan dengan luas 1,092 juta hektar. Diskusi Tambang, Walhi Jambi, Jambi, 5 April 2014
[17]            Perkebunan Besar Kelapa Sawit yang sudah eksisting sampai tahun 2012. Dari rencana sejuta hektar sawit. Data diolah dari berbagai sumber.
[18] Kabut asap tahun 2014 merupakan pengulangan kabut asap sebelumnya dan berulang setelah tahun 2013, 2012, 2010, 2004, 1997. Tahun 2014 telah menghentikan penerbangan lebih dari 2 minggu. Bahkan pada oktober 2014 telah mengakibatkan 5700 kasus perminggu (data berbagai sumber). Sehingga meliburkan sekolah.
[19]            Perhitungan ini diungkapkan peneliti pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Wasis. Dari luas lahan gambut di Jambi yang terbakar mencapai 286.527,3 hektare dengan volume gambutnya lebih dari 46 juta meter kubik, maka menimbulkan kerugian 44 trilyun. Kebakaran Gambut di Jambi Timbulkan Kerugian Rp 44,4 Triliun, Republika,
[20]            Penetapan ISPU ini mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, bangunan, dan nilai estetika. ISPU ditetapkan berdasarkan 5 pencemar utama, yaitu: karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2), Ozonpermukaan (O3), dan partikel debu (PM10)
Di Indonesia ISPU diatur berdasarkan Keputusan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Nomor KEP-107/Kabapedal/11/1997.
[21]            BLH, Maret 2014 yang dimuat di berbagai media.
[22] Kompas, 2 September 2014
[23] Statistik Lahan Pertanian, 2012
[24]            Pada tahun 2010, luas lahan sawah di Provinsi Jambi seluas 166.645 hektar. Jika dilihat dari sistem irigasinya, 36,61 persen merupakan irigasi pasang surut dan 18,80 persen irigasi tadah hujan. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Jambi merupakan wilayah potensi tanaman pangan. Lahan sawah terluas di Provinsi Jambi terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (43.824
hektar), diikuti oleh Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Muaro Jambi masingmasing 21.920 hektar dan 21.909
hektar, sedangkan paling sedikit di Kota Jambi 1.664 hektar.
[25] Alih fungsi lahan tinggi, produksi pertanian Tanjabtim turun, www.antara.com, 22 Februari 2012.
[26] Luas Sawah di Merangin Berkurang 12,47 Persen, Tribun Jambi, 20 Agustus 2013
[27] Data-data dari berbagai sumber.
[28] Melihat topografi, maka daerah ini tidak pernah mengalami banjir. Namun sekarang sering mengalami banjir. Banjir yang tidak disebabkan oleh alam namun karena aktivitas manusia dikenal sebagai bencana ekologi.
[29] Ikan khas yang terdapat di daerah Bangko, Sarolangun dan Bungo.
[30]            5 Tahun yang lalu, masyarakat Kumpeh tidak pernah beli ikan segar. Ikan mudah didapatkan di Sungai Kumpeh. Namun tempat-tempat bersarangnya ikan sekarang sudah hancur akibat perusahaan sawit, limbah pabrik. Sekarang bahkan mereka harus membeli ikan dari Jambi. Sebuah mimpi buruk yang tidak pernah mereka bayangkan. Pertemuan di Desa Teluk Raya, Kumpeh, Muara Jambi, 9 Mei 2015
[31]            Nama-nama tempat ikan seperti Danau Sirih, Lopak Besar, Lubuk Ketapang sekarang hancur sehingga tidak bisa dijadikan tempat sarang ikan-ikan. Dalam satu malam, ikan yang dikirimi dari Kumpeh bisa mencapai 3 ton/malam.

Kamu Harus Baca Juga ini :

Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang

Siaran Pers Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang Jambi- Problematika industri pertambangan Batubara dan proses pengangkutannya masih menjadi permasalahan serius yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Pasca dilantiknya Gubernur...

Read More