Dituduh Membakar Lahan, Ibu Dewita Menghadapi Persidangan: Antara Tuduhan Hukum dan Usaha Menanam Kehidupan
Tebo, 21 Oktober 2024 – Kasus pembakaran lahan yang melibatkan Ibu Dewita Br Silalahi, seorang petani lokal yang tinggal di dekat konsesi PT Alam Bukit Tiga Puluh (PT ABT), memasuki babak kedua dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tebo. Tuduhan yang diarahkan kepada Ibu Dewita bukanlah kasus pembakaran hutan yang pertama kali terjadi di wilayah itu, tetapi justru memunculkan pertanyaan penting mengenai bagaimana masyarakat lokal, terutama perempuan, terlibat dalam pengelolaan lahan yang seringkali berbenturan dengan kebijakan perusahaan besar dan pemerintah daerah.
Sidang ini mendapat perhatian lebih karena pernyataan kontroversial dari Ibu Dewita, yang mengaku bahwa ia tidak melakukan pembakaran untuk merusak hutan, tetapi justru untuk menyiapkan lahan bagi tanaman pangan yang menopang kehidupan keluarganya. Kasus ini menggambarkan realitas yang lebih kompleks di mana tuduhan hukum berbenturan dengan upaya masyarakat setempat dalam mempertahankan mata pencaharian mereka di tengah kebijakan konservasi yang terkadang tak berpihak pada rakyat kecil.
Di Balik Konsesi dan Restorasi
PT Alam Bukit Tiga Puluh (PT ABT) adalah perusahaan yang memegang konsesi untuk program restorasi dan pemulihan hutan di wilayah Bukit Tiga Puluh. Perusahaan ini bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kawasan yang menjadi bagian dari konsesi mereka tetap dalam kondisi hijau, serta terhindar dari deforestasi dan perusakan lingkungan.
Namun, di sisi lain, masyarakat sekitar, seperti Ibu Dewita, telah lama tinggal di daerah yang sekarang masuk dalam konsesi perusahaan. Mereka bergantung pada lahan tersebut untuk menanam berbagai tanaman pangan, termasuk singkong, jagung, cabai, dan sayuran lainnya. Dengan adanya konsesi, ruang gerak mereka untuk bercocok tanam menjadi terbatas, dan seringkali terjadi bentrokan antara aturan perusahaan dan kebutuhan hidup petani.
Pada tanggal 25 Juli 2024, Ibu Dewita dituduh melakukan pembakaran lahan di area yang menurut keterangan adalah lahan kosong yang tak terpakai, tetapi menurut pihak PT ABT, lahan itu adalah bagian dari wilayah restorasi yang tidak boleh digarap. Beberapa hari setelahnya, patroli gabungan Forkopimda menemukan lahan yang sudah terbakar dan beberapa barang bukti di lokasi. Dari sinilah kasus ini berkembang menjadi proses hukum yang membawa Ibu Dewita ke pengadilan.
Kesaksian di Persidangan: Fakta atau Fitnah?
Dalam persidangan kedua yang digelar pada 21 Oktober 2024, saksi fakta dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU), Eko Aprianto, seorang anggota kepolisian yang turut serta dalam patroli pada 31 Juli 2024, memberikan kesaksiannya. Menurut Eko, pada saat patroli dilakukan, mereka menemukan beberapa titik api yang telah padam, dan lahan yang terbakar seluas sekitar 1 hektar.
Saksi juga menyatakan bahwa barang bukti berupa semprotan roundup, mancis, parang, dan potongan kayu ditemukan di lokasi tersebut, yang digunakan untuk membersihkan lahan. Menurut Eko, penangkapan Ibu Dewita dilakukan atas perintah dari Bupati setempat, karena kebakaran hutan dan lahan sering kali menjadi masalah besar, terutama di musim kemarau.
Namun, kesaksian ini bertentangan dengan pernyataan dari Ibu Dewita sendiri, yang mengaku bahwa ia tidak melakukan pembakaran dengan niat merusak lingkungan, tetapi untuk membuka lahan yang akan digunakan untuk menanam tanaman pangan dan pembakaran yang dilakukan hanya berupa spot-spot sisa daun kering dan sampah serta dijaga dengan baik agar tidak melebar. “Saya hanya menanam kehidupan,” ujar Dewita dengan tegas dalam persidangan sebelumnya. Menurutnya, lahan yang ia bakar merupakan lahan kosong yang penuh dengan semak belukar, dan ia berencana untuk menanam jagung, singkong, serta tanaman lain yang dapat digunakan untuk menghidupi keluarganya.
Realitas Kehidupan di Sekitar Konsesi
Kasus yang dihadapi oleh Ibu Dewita mencerminkan dilema yang dihadapi banyak petani kecil di sekitar wilayah konsesi perusahaan besar. Dengan semakin banyaknya lahan yang masuk ke dalam wilayah konsesi untuk tujuan restorasi atau usaha komersial lainnya, masyarakat lokal kehilangan akses terhadap tanah yang sebelumnya mereka kelola secara turun-temurun.
Meski program restorasi yang dilakukan oleh perusahaan seperti PT ABT bertujuan baik, yakni untuk mengurangi dampak kerusakan hutan akibat aktivitas manusia, kenyataannya, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sering kali terpinggirkan. Dalam kasus Ibu Dewita, lahan yang ia kelola sekarang dianggap sebagai bagian dari kawasan restorasi perusahaan, padahal ia dan keluarganya telah lama memanfaatkan tanah tersebut untuk menanam tanaman pangan.
Konflik semacam ini tidak jarang terjadi di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang menjadi pusat industri kelapa sawit, pertambangan, dan kehutanan. Masyarakat lokal yang hidup dalam kondisi ekonomi yang sulit sering kali dipaksa untuk memilih antara mematuhi peraturan perusahaan yang ketat atau melanggar hukum demi mempertahankan mata pencaharian mereka.
Kekhawatiran Terkait Proses Hukum
Selain isu lingkungan, proses hukum yang dijalani oleh Ibu Dewita juga menuai kontroversi. Salah satu poin yang disorot adalah bahwa pada saat penangkapan dan proses Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Ibu Dewita tidak didampingi oleh kuasa hukum. Hal ini menimbulkan pertanyaan terkait keabsahan proses hukum, terutama dalam konteks hak asasi manusia dan hak atas pembelaan diri.
Dalam persidangan, Eko Aprianto, saksi dari kepolisian, mengakui bahwa terdakwa dibawa ke Polres Tebo pada malam hari setelah penangkapan dan langsung dimintai keterangan tanpa pendampingan. Ini memunculkan spekulasi apakah hak-hak Ibu Dewita sebagai terdakwa telah sepenuhnya dihormati dalam proses hukum.
Di sisi lain, saksi juga menyebutkan bahwa kebakaran yang lebih luas terjadi di seberang jalan lokasi rumah Ibu Dewita, yang berada dalam kawasan konsesi PT ABT. Namun, tidak ada kejelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kebakaran tersebut. Hal ini semakin mempertegas potensi ketidakadilan dalam proses hukum yang hanya menargetkan petani kecil seperti Ibu Dewita, sementara kebakaran yang lebih besar di sekitar lahan perusahaan terabaikan.
Abdullah, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jambi, mengkritik keras proses hukum yang dijalani Ibu Dewita, menyebutnya sebagai contoh nyata “kriminalisasi terhadap masyarakat lokal” yang sedang mempertahankan hak hidupnya. Menurut Abdullah, kasus ini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga menyentuh isu lebih dalam tentang ketidakadilan struktural yang sering dialami oleh petani kecil dan masyarakat adat di sekitar konsesi perusahaan besar.
“Kami melihat adanya kecenderungan di mana masyarakat kecil dijadikan kambing hitam atas kasus kebakaran lahan, sementara perusahaan-perusahaan besar sering kali luput dari tanggung jawab meskipun mereka juga beroperasi di wilayah yang sama. Ibu Dewita hanya mencoba memanfaatkan lahan untuk menanam tanaman pangan demi kelangsungan hidupnya. Mengapa kebakaran di lahan konsesi yang lebih luas tidak dipertanyakan dengan serius?” ujar Abdullah.
WALHI Jambi juga menyoroti kurangnya pendampingan hukum terhadap masyarakat kecil seperti Ibu Dewita. “Ini bukan hanya soal dia tidak didampingi saat BAP, tetapi juga bagaimana sistem hukum kita seringkali berat sebelah. Petani kecil seperti Ibu Dewita, yang secara ekonomi lemah, sangat rentan menjadi korban dalam kasus seperti ini,” tambah Abdullah.
Pernyataan Abdullah memperkuat argumen bahwa kasus Ibu Dewita seharusnya dilihat dari perspektif yang lebih luas—tidak hanya soal pelanggaran hukum lingkungan, tetapi juga soal hak asasi manusia, hak atas tanah, dan ketidakadilan sosial yang dihadapi oleh masyarakat lokal yang terpinggirkan oleh kebijakan konsesi besar.
Pertanyaan Sosialisasi dan Kesadaran Masyarakat
Dalam persidangan, Eko juga menyebutkan bahwa pihak berwenang telah melakukan sosialisasi terkait bahaya kebakaran lahan kepada masyarakat sekitar, baik secara langsung maupun melalui pemasangan baliho di wilayah terdampak. Namun, ia mengakui bahwa sosialisasi tersebut tidak mencapai lokasi tempat tinggal Ibu Dewita karena jaraknya yang jauh dan berada di ujung wilayah.
Masalah ini mengangkat isu yang lebih luas mengenai efektivitas sosialisasi pemerintah dan perusahaan kepada masyarakat. Dalam banyak kasus, petani kecil seperti Ibu Dewita mungkin tidak sepenuhnya memahami regulasi atau dampak hukum dari aktivitas mereka, terutama jika tidak ada upaya serius untuk menjangkau mereka dengan informasi yang memadai.
Apakah Ini Hanya Sebuah Kasus Atau Gejala Dari Masalah yang Lebih Besar?
Kasus yang dihadapi Ibu Dewita tidak hanya mencerminkan persoalan hukum individu, tetapi juga konflik yang lebih luas antara kebutuhan penghidupan masyarakat lokal dan kepentingan perusahaan besar dalam mengelola lingkungan. Apakah tindakan Ibu Dewita benar-benar merupakan pelanggaran yang membahayakan lingkungan, atau justru bentuk perlawanan terhadap keterbatasan akses tanah yang dihadapi oleh petani kecil?
Persidangan berikutnya akan dilanjutkan pada 24 Oktober 2024, dengan menghadirkan saksi fakta lainnya dari pihak Jaksa Penuntut Umum. Namun, kasus ini telah membuka perdebatan tentang bagaimana kita harus menyeimbangkan antara konservasi lingkungan dan hak-hak masyarakat adat serta petani lokal dalam mengelola tanah mereka.