SIARAN PERS ALIANSI PETANI JAMBI BERDAULAT

(KPA Wilayah Jambi, Walhi Jambi, Persatuan Petani Jambi, AGRA, YKR, Perkumpulah Hijau, JMGJ, INSPERA, KPKA Rimba Negeri, Beranda Perempuan, Mapala Gita Sada, SPB, STB-Tanjabbar, STSM, KT-semantung, Serikat Tani Tebo, Talang Mamak, Petani Eco Pakal Olak Kemang, Warsi, Walestra, Serbundo, HIMAPASTIK, GRIND SICK)
                                                                                               
Jambi, 24 September 2019, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)  No 5 Tahun 1960, yang telah di lahirkan oleh para petinggi bangsa ini. seharusnya sudah menjadi landasan negara untuk mensejahterakan rakyat Indonesia. Dengan cara memberi akses kepada masyarakat dan menghapus pola penghisapan atas tanah yang di contohkan kolonial dan menghapus hukum agraria buatan kolonial “domein Verklaring” dan bentuk-bentuk penghisapan lainya. Namun keberpihakan Negara hari ini lebih condong kepada para pemilik modal di bandingkan dengan rakyatnya sendiri. Sehingga tidak heran ketika terjadi konflik agraria rakyat dikorbankan demi investasi modal.


Refoma Agraria yang di bangggakan pemerintah saat ini, rupanya sangat  kontradiksi sekali dengan apa yang tertuang di dalam UUPA 1960. Ramainya pemberitaan media tentang bagi-bagi sertifikat tanah oleh pemerintah, ternyata sudah di terjemahkan sebagai pelaksanaan Reforma agraria. kenyataannya sertifikat itu hanya sebatas sertifikasi tanah,tanpa merombak struktur ketimpangan penguasaan pemanfaatan kepemilikan atas keadialan sumber-sumber agraria. Sedangkan reforma agraria ialah kewajiban Negara untuk memberikan hak atas tanah kepada rakyat yang tidak memiliki tanah atau petani gurem,nelayan,buruh tani. Sertifikasi tanpa terlebih dahulu menata ulang struktur penguasaan dan kepemilikan tanah agar lebih berkeadilan dan mensejahterakan, justru akan menjadi pintu pengukuhan secara legal terhadap ketimpangan yang ada.

Janji pemerintah untuk meredistribusi tanah seluas 9 juta hektar, hanya sebatas janji yang tidak bisa di tepati. Di akhir periode pemerintah yang sebentar lagi akan habis, rakyat di kejutkan dengan munculnya Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUUP), yang akan di sahkan tepat pada peringatan Hari Tani Nasional 24 September 2019. Seharusnya, RUUP ini bisa menjadi alat penyelesaian konflik pertanahan. Nyatanya, melalui aturan baru ini pemerintah sedang melakukan pembungkaman terhadap Hak dan Suara kaum tani. Pembentukan Pengadilan Pertanahan dan melahirkan bank tanah sebagai model liberalisasi agraria. Sedangkan konflik agraria (Sangketa Pertanahan) Diselesaikan Melalui Pengadilan Pertanahan” ini sama saja pemerintah melegitimasi Korporasi untuk merampas hak petani, sebagai pemilik yang sah atas tanah secara turun temurun.

Begitupun hak masyarakat Adat atas tanah ulayatnya, sampai hari ini masih banyak kelompok masyarakat adat belum mendapatkan kepastian secara hukum terhadap akses wilayah mereka. Tak jarang luasan izin konsesi perusahaan yang di terbitkan oleh pemerintah, masuk kedalam wilayah masyarakat adat sehingga terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan.


Menyikapi hal tersebut sesungguhnya tidak hanya pemerintah yang harus bertanggung jawab, dibalik semua itu lembaga Pendanaan ataupun Bank juga harus bertanggung jawab atas modal yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan perusak lingkungan dan pengintimidasi petani. Selain itu juga Bank juga harus melakukan memutus dan menghentikan pendanaan kepada perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi yang mencapai ±23.000 Ha dan setiap tahun terus terulang.

Maka Aliansi Petani Jambi Berdaulat menyatakan:
  • MENOLAK RUU PERTANAHAN
  • LAKSANAKAN REFORMA AGRARIA SEJATI
  • MENDESAK PEMERINTAH SEGERA CABUT IZIN PERUSAHAAN YANG LAHANNYA TERBAKAR
  • MENDESAK PEMERINTAH HARUS SERIUS TANGANI KONFLIK ANTARA SATWA DAN MANUSIA
  • AKUI MASYARAKAT ADAT, SEGERA BENTUK PERDA MHA

Narahubung:
Fransdody (0823-7142-5487)
Abdullah (0852-6670-3201)

Kamu Harus Baca Juga ini :