Pada tahun 1986, PT. Bahari Gembira Ria (PT. BGR) memperoleh perubahan pencadangan tanah seluas ±20.000 Ha untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit di Jambi. Area tersebut terletak di kelompok hutan Sungai Parit – Sungai Kumpeh. Meskipun pencadangan tanah ini memenuhi persyaratan pembangunan daerah, seiring berjalannya waktu, wilayah tersebut menjadi pusat konflik lahan yang berkepanjangan.
Konflik mulai mencuat ketika pada tahun 1991, Menteri Kehutanan melepaskan lahan seluas 14.349 Ha untuk perkebunan kelapa sawit PT. BGR, namun mengecualikan lahan yang telah ditempati oleh pihak ketiga. Lahan ini digunakan sebagai Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan, yang kemudian menjadi pemicu sengketa dengan masyarakat setempat.
Desa Parit dan Desa Sungai Gelam menjadi dua lokasi krusial dalam konflik ini. Warga Desa Parit menuntut pengembalian lahan seluas 1.000 Ha yang diklaim mereka sebagai milik mereka, sedangkan Kelompok Tani Karya Makmur di Desa Sungai Gelam mempersoalkan lahan seluas 7.000 Ha.
Pada tahun 2000, musyawarah antara masyarakat Desa Parit dan Sungai Gelam dengan PT. BGR menyepakati bahwa sebanyak 200 Kepala Keluarga (KK) dari tiap desa akan diikutsertakan dalam program perkebunan plasma. Namun, penyelesaian lahan yang tidak dikerjakan oleh perusahaan diserahkan kepada Gubernur Jambi untuk mengatur penggunaannya bagi masyarakat. Hingga tahun 2008, upaya mediasi terus dilakukan oleh pemerintah daerah, tetapi masalah kepemilikan lahan tetap belum terselesaikan.
Sementara itu, program transmigrasi di daerah Sungai Gelam yang melibatkan 200 KK transmigran juga memunculkan masalah baru. Lahan yang dijanjikan untuk program Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) sebagian besar telah digarap oleh kelompok tani dan beberapa perusahaan, sehingga 200 KK belum memperoleh lahan usaha yang dijanjikan. PT. Makin Group, yang terlibat dalam sengketa lahan ini, bahkan dikabarkan menolak menandatangani berita acara penyelesaian pada tahun 2011.
Abdullah, Direktur Eksekutif WALHI Jambi, menyuarakan keprihatinannya atas konflik lahan yang terjadi di wilayah tersebut. Dalam pernyataannya, ia mengatakan, “Kasus-kasus seperti ini menunjukkan bahwa kepentingan masyarakat lokal dan transmigran seringkali terabaikan ketika lahan dialokasikan untuk kepentingan perusahaan besar. Ketidakadilan ini terus berulang, di mana masyarakat dibiarkan terjebak dalam ketidakpastian hak atas tanah mereka. Pemerintah perlu tegas dalam menyelesaikan konflik agraria ini dan memprioritaskan hak-hak masyarakat yang sudah lama mendiami wilayah tersebut.”
Pernyataan Abdullah mencerminkan kekecewaan yang dirasakan oleh masyarakat setempat, yang selama bertahun-tahun harus menghadapi ketidakpastian hak atas tanah mereka. Meski berbagai rapat penyelesaian telah diadakan, hingga kini belum ada solusi yang memuaskan bagi para transmigran maupun masyarakat lokal di kawasan Sungai Gelam dan sekitarnya.
Sengketa lahan antara PT. BGR, masyarakat Desa Parit, Desa Sungai Gelam, dan pihak transmigran terus berlanjut meski berbagai upaya penyelesaian telah dilakukan. Masyarakat masih memperjuangkan hak-hak mereka, sementara pemerintah daerah dan perusahaan belum berhasil mencapai kesepakatan yang dapat memuaskan semua pihak.
Konflik ini menyoroti pentingnya transparansi dan keadilan dalam pengelolaan lahan di Indonesia, khususnya di wilayah yang terlibat dalam program perkebunan besar. Hingga ada penyelesaian yang nyata, masyarakat akan terus hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian, terjebak dalam sengketa agraria yang tak berujung.