Diproduksi Oleh
ED WALHI Jambi, 2019
Sikap Uni Eropa untuk melakukan pengurangan penggunaan minyak kelapa sawit, memunculkan cerita baru. Cerita tersebut dimulai pernyataan dari Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan yang mengancam akan keluar dari kesepakatan paris apabila Uni Eropa tetap melanjutkan pengurangan minyak kelapa sawit.
Pernyataan tersebut kemudian dianggap oleh banyak aktivis lingkungan sebagai pernyataan yang kontroversi dan tidak profesional. Dalam konteks kontroversinya, sikap tersebut bertentangan dengan kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, terkait dengan salah satu kesepakatan paris agreement yang sudah diratifikasi melalui UU No 16 Tahun 2016, untuk berupaya menekan ambang batas suhu bumi hingga 1,5 derajat celcius.
Dalam konteks ketidak profesionalannya, Luhut BP tidak memiliki kapasitas, baik dalam hal mengeluarkan statemen maupun memutuskan terkait hal tersebut. Sehingga dapat dikatakan, Presiden Indonesia yang memiliki kewenangan kebijakan politik tertinggi, belum mampu memelihara sikap mentrinya [Luhut BP] untuk bersikap lebih professional dan bertanggung jawab sesuai dengan porsinya.
Selain pernyataan Luhut BP tersebut menimbulkan kontroversi dan tidak professional, para aktivis penggiat lingkungan juga, akan mengkawatirkan jika pernyataan tersebut benar-benar direalisasikan. Karena hal tersebut akan berdampak langsung kepada hilangnya pegangan masyarakat untuk menekan pemerintah terkait dengan komitmen perubahan iklim.
Sikap yang dikeluarkan oleh Luhut BP, terkesan masih beraroma kepentingan dunia usaha, khususnya dalam kepentingan untuk melanggengkan jelajah rantai pasar industry sawit. Karena untuk sampai ditahun 2018 saja, kapasitas produksi minyak sawit Indonesia sudah tembus pada angga 10,41 juta ton.
Angka tersebut membuktikan kepada kita, bahwa satu sisi Indonesia masih bercokol sebagai Negara terproduktif dalam hal memproduksi minyak sawit dan sisi lainnya, para pelaku industry sawit masih membutuhkan ekspansi wilayah pasar baru dan mempertahankan wilayah pasar lama.
Upaya yang dilakukan saat ini oleh Pemerintah untuk memastikan keberlanjutan rantai pasar industry minyak sawit, tidak berbanding lurus dengan upaya untuk memastikan praktek tata kelola industry kelapa sawit yang adil dan lestari ditingkat tapak [lokasi sekitar perkebunan Kelapa sawit].
Di Provinsi Jambi, kebijakan industry perkebunan kelapa sawit bukan hanya menjadi kepentingan para pengusaha dibidangnya saja, namun selain itu juga sudah menjadi roh arah pembangunan yang telah dimasukan dalam satu prasyarat mutlak bagi upaya untuk mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jambi.
Dari data yang berhasil dihimpun oleh WALHI Jambi ditahun 2018, Pemerintah Jambi telah mengeluarkan izin perkebunan sawit seluas 1.368.000 hektar yang telah dikeluarkan kepada 186 perusahaan, dengan rincian 1.368.000 hektar izin lokasi, 248.000 hektar HGU dan 962.000 hektar IUP.
Kebijakan perluasan pembangunan industry perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi, melaju begitu cepat seiring dengan mitos yang digembar-gemborkan oleh Pemerintah, bahwa pembangunannya akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat.
Di Desa Sungai Bungur Kecamatan Kumpeh Kabupaten Mauro Jambi, dari luas 3000 hektar yang diserahkan kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Puri Hijau Lestari [PT. PHL] dan tidak kurang dari 400 hektarnya diplasmakan kepada masyarakat, sampai saat ini lebih dari 21 tahun masyarakat terus terjebak dalam lingkaran hutang plasma.
Selain skema hutang yang saat ini menjerat masyarakat dalam bisnis industry kelapa sawit di Desa Sungai Bungur, juga terjadi kerusakan ekositem rawa gambut diwilayah kesatuan hidrologi gambut [KHG] sungai Batanghari sungai kumpeh, di Desa Rukam Kecamatan Taman Rajo Kabupaten Mauro Jambi.
KHG sungai Batanghari sungai kumpeh yang menjadi salah satu wilayah prioritas perlindungan, saat ini kondisinya sudah mengalami kerusakan pada tingkat yang harus segera dipulihkan akibat eksploitasi industry perkebunan kelapa sawit PT. Erasakti Wira Forestama [PT. EWF].
Aktifitas yang dilakukan oleh PT. EWF juga menimbulkan bencana dan ilklim banjir yang tak menentu akibat tata kelola [pembangunan tanggul PT. EWF] dan merusak system tata produksi pertanian masyarakat sekitar. Sehingga hal tersebut berdampak langsung pada hilangnya kesempatan masyarakat untuk melakukan aktifitas pertanian secara normal.
Dalam hal kriminalisasi, sejak tahun 2007, setidaknya ada 1.373 hektar lahan Desa Sogo, Kelurahan tanjung dan Desa Kumpeh yang sampai saat ini masih dalam penguasaan sepihak yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Bukit Bintang Sawit [PT. BBS].
Seperti ingin menambah fakta keburukan tentang kebijakan pembangunan industry kelapa sawit, aliran dana gelap industry kelapa sawit yang marak terjadi saat ini, membuktikan bahwa, sector industry perkebunan kelapa sawit belum siap untuk menjadi satu instrument produk kebijakan pembangunan yang bisa memastikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan bagi Negara Indonesia dan rakyatanya. selesai