Jakarta, Badan Restorasi Gambut diharapkan bisa degera bekerja dilapangan guna memastikan rawa gambut tetap basah dan tak terbakar. Keterlibatan masyarakat dalam restorasi dan pemilihan jenis tanaman mutlak dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan dan potensi alam.
“Kami berharap agar restorasi dijalankan melibatkan masyarakat di bawah,” kata Amron, Sekertaris Jaringan Masyarakat Gambut Jambi, Jumat (22/1) di kantor Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta.
Hamparan Jambi yang memiliki lebih dari 600.000 hektar rawa gambut sebagian diantaranya berubah menjadi tanaman monokultur sawit ataupun akasia. Perusahaan pemegang konsesi disekitar desa-desa mengeringkan rawa gambut agar tanaman monokultur itu tumbuh.
Acap kali pembukaan dan pengolahan lahan dengan cara membakar gambut yang telah kering.” Kebakaran terjadi sejak perusahaan masuk desa kami. Bahkan, merembet ke kebun warga dan kawasan hutan konservasi,‘ kata Yani, warga Desa Sogo, Kumpeh, Jambi.
Oleh karena itu, ia sangat mendukung janji Presiden Joko Widodo yang akan menarik kembali konsesi-konsesi terbakar dan memberikan hak kelola bagi masyarakat.“Tiap keluarha petani itu maksimal bisa mengerjakan 4 hektar,” ujarnya. Luasan yang sangat kecil dibandingkan dengan konsesi satu perusahaan yang memiliki luas ribuan hingga ratusan ribu hektar.
Direktur Eksekutif Walhi Jambi Musri Nauli mengatakan, distribusi lahan ini bisa membantu mengurangi ketimpangan penguasaan lahan. Pengembalian konsesi yang terbakar kepada masyarakat pun menjadi bukti monokultur gagal dibudidayakan di rawa gambut.
Musri mengingatkan agar kebijakan menarik kembali lahan-lahan terbakar tak melepaskan tanggung jawab perusahaan untuk merestorasi.
Kepala BRG Nazir Foead, pekan lalu, setelah diperkenalkan Presiden di Istana mengatakan, pelibatan masyarakat mandat yang ditekankan Presiden. Selain itu, restorasi harus mampu menyentuh penghidupan masyarakat dengan menanam berbagai jenis tanaman rawa gambut.
Rp 5.000 Triliun
Musri mengatakan Walhi Jambi memfasilitasi 100 warga menggugat class action terhadap lima grup perusahaan besar kehutanan dan perkebunan sawit akibat kebakaran 2015. Pekan depan gugatan dilayangkan.
Gugatan ganti rugi tersebut bernilai Rp 5.000 triliun atau tiga kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015. “Kebakaran menimbulkan asap yang berbahaya bagi warga. Mereka tak bisa beraktivitas, secara ekonomi dan sosial sangat dirugikan,” katanya. Penghitungan kerugian itu dinilai realistis dan sesuai pedoman penghitungan kerugian akibat kebakaranhutan/lahan dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Selain di Jambi, gugatan juga sedang dan akan dilayangkan warga melalui Walhi di Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. “Bentuknya class action ataupun citizen lawsuit. Ada gugatan warga yang difasilitasi warga ataupun Walhi langsung. Menyesuaikan kesiapan data masing-masing. Semua sedang berproses,” kata Zenzi Suhaidi, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Besar Eknas Walhi.
Selama Januari-September 2015 terdapat 24.086 titik panas di Jambi, Kalbar, Kalteng, Sumsel, dan Riau. Analisis Walhi, titik-titik panas itu di dalam konsesi perusahaan di Kalteng (5.672 titik), Kalbar (2.495 titik), Riau (1.005 titik), Sumsel (4.416 titik), dan Jambi (2.842 titik)
Pola kebakaran pembakaran lahan terkait korporasi memiliki beberapa bentuk, di antaranya kebakaran dalam kawasan hutan, kebakaran dalam konsesi, kebakaran dalam wilayah pengusahaan ilegal korporasi, dan kebakaran merambat ke wilayah budidaya masyarakat.
(ICH)
Sumber: Kompas