WALHI Jambi – Paris,TheGlobal Landscape Forum 2015 merupakan sebuah forum yang digelar disela konferensi perubahan iklim di Paris. Forum tersebut diikuti oleh berbagai private sector yang selama ini bergelut di sektor sumber daya alam baik kehutanan maupun perkebunan. Forum yang konon sebagai bagian dari komitmen private sector yang selama ini berbisnis di industri ekstraktif terhadap perubahan iklim, penyelamatan lingkungan, menyelamatkan hutan dan gambut, serta penyelesaian konflik.
Terkait gelaran itu, WALHI melalui siaran persnya menyatakan bahwa forum ini, termasuk inisiatif restorasi berbasis landscape setidaknya di 5 provinsi yakni Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalbar dan Kaltim, tidak lebih hanya sekedar menjadi upaya green washing dari korporasi yang selama ini telah gagal mengelola sumber daya alam, dengan indikasi kebakaran dan bencana ekologis lainnya, konflik dan kemiskinan.
Direktur WALHI Jambi, Musri Nauli, mengatakan “jika dilihat dari wilayah landscape yang konon akan dipulihkan, dari satu juta hektar lahan yang direstorasi dengan pendekatan landscape ini, justru berada di luar area konsesi korporasi yang rusak dan atau terbakar,” ucap Musri melalui keterangan tertulis, Senin (7/12).
Merusak di tempat lain, merestorasi di tempat lainnya
Inisiatif landscape ini juga bagian dari skenario dari korporasi untuk menguasai hutan atas nama restorasi, dan tentu saja bagian dari modus land banking. Ini adalah Neoliberalisme “hijau”. Korporasi dan elit politik menjadikan isu lingkungan hidup sebagai komoditas baru untuk terus mengakumulasi keuntungan mereka.
Salah satu problem pokok di sektor kehutanan dan perkebunan selain kerusakan lingkungan hidup adalah konflik struktural negara-korporasi yang berhadapan dengan rakyat. Bagaimana inisiatif ini dapat menyelesaikan konflik, jika selama ini korporasi-korporasi ini justru menjadi aktor atau bagian dari konflik itu sendiri? gugat Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan.
![](https://www.walhijambi.or.id/wp-content/uploads/2023/01/DJI_0031-300x171.png)