Rahasia Gelap Mafia Tanah: Di Balik Konflik Lahan Transmigran

Di balik polemik berkepanjangan terkait lahan transmigrasi dan perkebunan sawit PT. Bahari Gembira Ria (BGR) di kawasan Sungai Gelam, Kabupaten Muaro Jambi, terselip isu lebih kompleks: adanya indikasi praktik mafia tanah yang memperkeruh keadaan. Konflik yang sudah berlangsung sejak tahun 1986, melibatkan masyarakat transmigran, kelompok tani, dan perusahaan perkebunan sawit, tak kunjung menemukan solusi tuntas. Salah satu penyebab utamanya adalah dugaan keterlibatan mafia tanah yang mengambil keuntungan dari situasi tersebut.

Sejak PT. Bahari Gembira Ria mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU) pada 1986 atas lahan seluas 20.000 hektar, konflik dengan masyarakat lokal terus muncul. Masyarakat transmigran yang ditempatkan di kawasan Sungai Gelam sejak 2009 juga mengalami ketidakpastian terkait kepemilikan lahan usaha. Sebanyak 200 Kepala Keluarga (KK) transmigran yang seharusnya mendapatkan jatah lahan usaha 2 hektar per KK, hingga saat ini belum menerima hak mereka sepenuhnya.

Menurut catatan yang ada, beberapa kelompok tani dan individu tertentu diduga menjadi bagian dari mafia tanah yang menguasai lahan secara ilegal. Dalam salah satu pertemuan di tahun 2018, disebutkan bahwa sejumlah lahan yang semestinya diperuntukkan bagi transmigran ternyata sudah dikuasai oleh pihak lain, termasuk kelompok tani Saiyo Sakato dan PT. Makin Group, yang diduga terlibat dalam penguasaan lahan tersebut tanpa hak yang jelas.

Indikasi adanya mafia tanah semakin kuat ketika muncul klaim dari berbagai pihak terkait kepemilikan sertifikat lahan. Salah satu kasus yang mencuat adalah penguasaan sekitar 270 hektar lahan oleh seorang individu bernama Kent Gui, yang diduga bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk mengklaim tanah transmigrasi dengan sertifikat ganda.

Abdullah, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jambi, menegaskan bahwa mafia tanah memang bergerak di balik layar, memanfaatkan kelambanan birokrasi dan ketidakpastian hukum untuk menguasai lahan yang masih dalam proses penyelesaian. “Kasus ini jelas bukan hanya soal sengketa agraria biasa. Ada permainan kotor yang melibatkan banyak pihak, mulai dari kelompok tani hingga korporasi, yang dengan sengaja mengabaikan hak-hak masyarakat. Kami melihat ada mafia tanah yang menggunakan celah-celah hukum dan birokrasi untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya,” ujar Abdullah.

Dia juga menekankan bahwa peran mafia tanah sangat merugikan masyarakat kecil yang seharusnya menerima lahan tersebut. “Ketika masyarakat dipermainkan oleh mafia tanah yang memalsukan sertifikat atau merebut tanah mereka secara ilegal, ini jelas adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap para pelaku ini,” tambah Abdullah.

Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi dan instansi terkait, meskipun telah berupaya menyelesaikan konflik ini melalui serangkaian rapat mediasi dan penyelesaian hukum, belum mampu memberikan solusi konkret bagi masyarakat transmigran. Penyelesaian lahan usaha bagi transmigran di UPT II, III, dan IV yang hingga kini masih dalam penguasaan PT. Makin Group dan kelompok tani lokal, terus menemui jalan buntu. Pada beberapa kesempatan, rapat koordinasi yang melibatkan pihak-pihak terkait selalu berakhir tanpa kesepakatan pasti.

Sejumlah warga transmigran juga mengeluhkan lemahnya pengawasan pemerintah dalam mengatasi mafia tanah. “Kami sudah menunggu bertahun-tahun, tetapi hak kami atas lahan usaha 2 hektar tak kunjung kami dapatkan. Di sisi lain, lahan yang seharusnya untuk kami dikuasai pihak lain,” ujar salah seorang transmigran yang enggan disebutkan namanya.

WALHI Jambi bersama dengan masyarakat terus mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap mafia tanah yang diduga terlibat dalam sengketa ini. Abdullah juga menambahkan bahwa audit menyeluruh terhadap seluruh sertifikat lahan di kawasan ini harus segera dilakukan. “Audit terhadap kepemilikan lahan dan sertifikat di kawasan Sungai Gelam sangat penting untuk memutus mata rantai mafia tanah. Jika pemerintah ingin menyelesaikan konflik ini, mereka harus menunjukkan keberpihakan yang jelas pada masyarakat kecil, bukan pada mereka yang memiliki kuasa dan uang,” ujar Abdullah.

Berita tentang mafia tanah dan konflik lahan di kawasan Sungai Gelam masih terus berkembang. Pemerintah dan pihak-pihak terkait diharapkan dapat segera memberikan kepastian hukum yang jelas bagi masyarakat transmigran serta menindak tegas pihak-pihak yang bermain di balik konflik ini.

Kamu Harus Baca Juga ini :

Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang

Siaran Pers Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang Jambi- Problematika industri pertambangan Batubara dan proses pengangkutannya masih menjadi permasalahan serius yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Pasca dilantiknya Gubernur...

Read More