Polisi Harus Terbuka Soal Siapa Pelaku Karhutla

Kebakaran hutan dan lahan. Foto: ist
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Provinsi Jambi sejak 4 bulan terakhir menimbulkan dampak yang cukup parah.
Jambi ditutupi kabut asap dalam waktu yang cukup lama. Indeks Standar Pencemeran Udara (ISPU) di Jambi sendiri sempat mencapai kategori berbahaya.
Sejumlah orang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Karhutla di Jambi. Sejumlah perusahaan juga disegel Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) karena dianggap tidak bisa mengatasi kebakaran di lahan mereka.
Mengenai persoalan ini, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Rudiansyah mengatakan kalau dalam hal tersangka individu, penegak hukum harus membuka secara jelas siapa pelaku.
Karena menurut dia, ketika yang disebut sebagai pelaku adalah masyarakat, maka masyarakat tradisional lah yang dianggap sebagai pelaku.
“Jangan menjustifikasi kalau itu masyarakat tradisional Jambi. Kalau masyarakat tradisional (membuka lahan) mereka punya cara khusus,” kata Rudiansyah, Senin (7/10).
Masyarakat tradisional mengenal tradisi merun. Tradisi ini merupakan metode pembukaan lahan oleh masyarakat tradisional dengan cara membakar.
Namun, tidak hanya sekedar membakar, ada tata cara dan waktu bagaimana dan kapan lahan itu dapat dibuka dengan cara membakar.
Kata Rudiansyah, dalam pola merun, sebelum dilakukan pembakaran mereka berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat dan pemilik lahan yang sepadan dengan mereka. Dan sebelum melakukan pembakaran mereka sudah menyiapkan alat pemadaman agar api tidak membesar tak terkendali.
“Belukar dan pohon ditebang, lalu ditumpuk. Kemudian dibakar pertumpukan sehingga apinya tidak melebar kemana-mana. Mereka juga membuat sekat bakar untuk menjaga api. Jadi nggak akan menyebabkan kebakaran meluas,” kata Rudiansyah menambahkan.
Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok Orang Rimba, imbuh Rudiansyah. Metode yang hampir sama dengan nama yang mungkin berbeda.
“Jadi penegak hukum (polisi) harus membuka secara gamblang siapa pelakunya, masyarakat tradisional Jambi apa bukan. Jangan menjustifikasi kalau itu dilakukan masyarakat tradisional Jambi,” ujarnya.
Tidak jauh berbeda dengan Rudiansyah, Direktur Warsi Rudi Syaf juga mengatakan jika proses membuka lahan yang dilakukan masyarakat tradisional tidak akan menyebabkan kebakaran yang meluas. Karena dalam prosesnya mereka menaati aturan-aturan yang ada.
Masyarakat tradisional, imbuhnya, bukan membuka hutan. Lahan yang dibuka oleh masyarakat tradisional umumnya adalah lahan sesap. Lahan yang memang sudah lama dibiarkan tidak diolah ataupun lahan cadangan kalau ada keluarga baru yang akan membuka ladang baru.
“Umumnya bukan hutan, walaupun bentuknya seperti hutan tapi masih hutan sekunder sedang,” kata Rudi Syaf.
Sama halnya dengan Rudiansyah, Rudi Syaf menyebutkan juka dalam masyarakat tradisional ada yang namanya tradisi merun. Pola merun itu dilakukan di lahan seluas 2 hektare, karena kemampuan petani tidak mampu membukan lahan yang luas.
Dalam pola merun, kata Rudi, masyarkat memilih waktu yang tepat. Tidak sembarang waktu. Pembukaan lahan dengan merun dilakukan masyarakat menjelang musim hujan.
Dan saat melakukan pembakaran, masyarakat akan menjaga api agar tidak melebar. Mereka memastikan yang terbakar hanya tumpukan-tumpukan kayu yang sudah dipisah-pisah oleh mereka.
“Relatif pola yang kayak gitu tidak merambat apinya kemana-mana,” kata Rudi.
Untuk kebakaran yang terjadi beberapa waktu kebelakang, kata Rudi, pelaku membuka lahan mereka yang tidak besar, namun apinya merambat kemana-mana. Dan melihat waktu terjadinya kebakaran hutan, sangat kecil kemungkinan itu dilakukan oleh petani tradisional.
“Itukan (kebakaran) mulainya akhir Juni. kalau untuk petani tradisional belum masanya. Kalau kita lihat dari data yang disampaikan kepolisian, relatif dari namanya saja bukan petani tradisional jambi. Kalau dilihat dari namanya ya. Dari pengamatan kami di lapangan, sebagian besar bukan petani tradisional,” kata Rudi.
Sementara pola orang rimba atau dikenal dengan Suku Anak Dalam (SAD) dalam membuka lahan juga sama dengan petani tradisional.
“Cuma kalau orang rimba waktu dia membakar itu melakukan ritual. Sesuai kepercayaan mereka. Kalau orang melayu tidak ada ritualnya, tapi polanya sama,” ujarnya.
Orang rimba kata Rudi, saat membakar mereka membacakan mantra-mantra sambil mengelilingi api agar api itu tidak melebar kemana-mana. Dan tidak memungkinkan itu menjadi penyebab kebakaran akhir-akhir ini.
Menurut dia, dalam bencana kebakaran ini ada campur tangan individu pemilik modal besar. Sehingga dalam penegakan hukum, harus dikejar sampai ke pemilik modal.
“Harusnya di tingkat pengadilan dilanjutkan, kalau ada nama baru ya diproses, dan dikejar lagi,” kata Rudi. (yovy)
Sumber : kumparan.com

Kamu Harus Baca Juga ini :

Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang

Siaran Pers Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang Jambi- Problematika industri pertambangan Batubara dan proses pengangkutannya masih menjadi permasalahan serius yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Pasca dilantiknya Gubernur...

Read More