Akhir-akhir ini kita dikabarkan tentang meninggalnya Indra Pelani di Bukit Rinting, Lubuk Mandarsyah, Tebo. Lokasi meninggalnya kemudian merupakan tempat “antara masyarakat” Lubuk Mandarsyah dengan izin PT. WKS. Group APP sebagai penyuplai bubur kertas dan pemain utama di Indonesia.
Proses hukum tengah berlangsung. Sidang untuk menghadirkan saksi-saksi untuk membuktikan keterlibatan para pelaku tengah dilangsungkan. Proses hukum tinggal menunggu bagaimana pertanggungjawaban para pelaku terhadap peristiwa pembunuhan.
Disisi lain perusahaan “dianggap” bertanggungjawab‘. Perusahaan sebagai “induk semang” harus menjaga “anak asuhnya”. Kesalahan anak asuh merupakan tanggungjawab “induk semang”.
Kedudukan “induk semang” adalah sebagai “tuo tengganai” dari anak kemenakan. Kesalahan “anak kemenakan” kemudian harus diselesaikan oleh “tuo tengganai”. Kesalahan harus dipertanggungjawabkan baik melalui hukum adat maupun sosial.
Di Tebo, Negeri “seentak galah serengkuh dayung”, dalam “Anak Undang Nan Dua Belas”, “peristiwa pembunuhan” pelanggaran ini dikenal dengna istilah “luka lakih di pampas. Mati dibangun”. Luka lukih di pampas adalah orang yang melukai badan orang lain dihukum membayar pampas. Terhadap luka dilihat “Luka rendah pampasnya sekor ayam, segantang beras, kelapo betali”. Luka tinggi pampasnya seekor kambing, 20 gantang beras.Luka parah pampasnya se lengan separuh bangun”.
Sedangkan “Mati di bangun” adalah membunuh orang lain di hukum membayar bangun berupa satu ekor kerbau, seratus gantang beras, sekayu kain putih.
Ketika perusahaan dijatuhi sanksi adat, maka literatur sejarahpun kembali menerawang. Penulis kemudian menggabungkan pengetahuan lokal dengan catatan sejarah yang dituliskan berbagai catatan.
Dalam peta schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen skala 1 : 750.000, telah jelas diterangkan pembagian margo. Lubuk Mandarsyah termasuk kedalam Margo Petadjin Hilir (baca petajin ilir). Margo Petajin Ilir berbatasan dengan Margo Marosebo Ulu, Margo Petajin Ulu, Margo Tabir Ilir. Pusat Margo terletak di Sungai Bengkal.
Dalam catatan G.A.N Scheltema de Heere didalam Staatsblad van Nederlandsch Indië, tahun 1908, Margo Petajin Ulu, Margo Petajin Tengah, Margo Petajin Hilir, Margo Petajin, termasuk kedalam wilayah administrasi Afdeling Muara Tebo.Afdeling adalah sebuah wilayah administratif pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda setingkat Kabupaten. Catatan ini kemudian diperkuat dalam De Indo-Nederlandsche wetgeving, Tahun 1910.
Sedangkan Pieter Johannes Veth, Arend Ludolf van Hasselt, D.D. Veth, Johannes François Snelleman, Jacob Gijsbert Boerlage dalam laporannya Midden-Sumatra : Volksbeschrijving van Midden-Sumatra; Ethnographische atlas van Midden-Sumatra; De talen en letterkunde van Midden-Sumatra tahun 1877-1879menyebutkan 12 Suku di Afdeling Moera Tebo. Diantaranya Petadjin. Laporan ini kemudian diterbitkan tahun 1882.
Philippus Samuel van Ronkel menyebutkan Petajin termasuk bagian dari Moera Tebo. Catatan ini dituliskan didalam “een bundel opstellen aan Philippus Samuel van Ronkel” yang terbit tahun 1950.
Catatan ini kemudian memperkuat yang dibuat oleh Johan Willem Jules Wellan didalam Laporannya “Zuid-Sumatra: economisch overzicht van de gewesten Djambi, Palembang, de Lampoengsche districten en Benkoelen, tahun 1932. Kedua catatan ini dengan tegas memasukkan Petadjin-Hoeloe, Petadjin Hilir dalam kontrol Moeratebo (onder een controleur te Moeratebo). Catatan ini juga dituliskan oleh Arend Ludolf van Hasselt dan Veth tahun 1882 didalam bukunya “Midden-Sumatra: Reizen en onderzoekingen der Sumatra-expeditie, uitgerust door het Aardrijkskundig Genootschap 1877-79, beschreven door de leden der expeditie.
Semua catatan cukup jelas menerangkan tentang keberadaan Margo petajin Ilir, batas-batas Margo petajin Ilir dengan Margo sekitarnya, tentang wilayah administrasi Tebo dan sekilas sistem pemerintahan sebelum dikuasai oleh Pemerintahan Belanda tahun 1904.
Catatan, jurnal maupun buku yang telah diterbitkan oleh kalangan berbagai ahli masih ditemukan di berbagai perpustakaan di berbagai dunia. Baik di University of California, Universitas Michigan, University of Wisconsin, Cornel University, Perpustakaan Publik Lyon maupun di Leiden University.
Dengan melihat catatan perjalanan, buku, jurnal yang diterbitkan baik oleh G.A.N Scheltema de Heere, Pieter Johannes Veth, Arend Ludolf van Hasselt, D.D. Veth, Johannes François Snelleman, Jacob Gijsbert Boerlage, Philippus Samuel van Ronkel, Johan Willem Jules Wellan, Arend Ludolf van Hasselt dan Veth, maka keberadaan masyarakat Hukum adat Lubuk Mandarsyah bagian dari Margo Petajin Ilir sudah terekam dan tercatat dari berbagai tulisan yang telah diperhatikan oleh Belanda.
Catatan ini masih terekam jelas dengan tutur dan sejarah masyarakat (Tambo) yang terus disampaikan secara turun temurun.
Dimuat di infojambi.com tanggal 19 Agustus 2015