Orang Rimba Bukit 12



Oleh danie_rimba

1. Pengantar
Orang Rimba Bukit 12 adalah komunitas/masyarakat hukum adat yang tinggal secara semi nomaden di kawasan hutan Bukit 12 Propinsi Jambi.Orang Rimba disebut komunitas semi nomaden karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Perpindahan Orang Rimba dari satu tempat ke tempat lainnya disebabkan oleh beberapa hal seperti: 1.melangun, 2. menghindari musuh, dan 3. membuka ladang baru. Bagi orang yang belum tahu, melangun adalah tradisi Orang Rimba meninggalkan tempat kediamannya untuk sementara waktu apabila ada salah satu kerabat yang meninggal dunia.
Orang Rimba tinggal di pondok-pondok yang mereka sebut sesudungon yaitu bangunan sederhana yang terbuat dari kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.


Bukit 12 sendiri terletak di perbatasan tiga Kabupaten yaitu Batang Hari, Tebo, dan Sarolangun. Saat ini berdasarkan keterangan yang diberikan oleh tokoh tokoh masyarakat Orang Rimba pada pertemuan adat dikota Bangko bulan April 2006, paling sedikit terdapat 59 rombong kecil atau kelompok kecil Orang Rimba yang hidup di kawasan hutan Bukit 12. Diantara 59 rombong kecil tersebut, beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa di sekitarnya. Tetapi sebagian besar masih tinggal di hutan dan masih menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyangnya dahulu. Jumlah Orang Rimba di Bukit 12, sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi seandainya disetiap rombong terdapat 10 kepala keluarga dan di setiap keluarga terdiri dari lima orang jiwa maka jumlah Orang Rimba bisa mencapai 2950 jiwa. Jumlah ini jauh lebih banyak dari hasil survey Warsi tahun 2004 yang menyatakan bahwa jumlah keseluruhan Orang Rimba di Bukit 12 adalah 1542 jiwa.

2. Sejarah lahir dan Berkembangnya Orang Rimba Bukit 12
Ada banyak pendapat mengenai sejarah lahir dan terbentuknya komunitas Orang Rimba Bukit 12. Beberapa dapat kami tuliskan dibawah ini:
1. Pendapat yang menyatakan bahwa nenek moyang Orang Rimba adalah seorang perantau asal Pagar Ruyung. Di dalam hutan perantau tersebut bertemu dengan seorang putri yang berasal dari buah kelumpang. Singkat Cerita akhirnya mereka menikah, dan keturunan mereka inilah yang sekarang disebut sebagai Orang Rimba.
2. Pendapat yang menyatakan bahwa nenek moyang Orang Rimba adalah sekelompok tentara Pagar Ruyung yang tidak berani lagi pulang ke tanah airnya karena misinya gagal. Kelompok tentara ini pada akhirnya memutuskan untuk tinggal di hutan dan menikah dengan perempuan desa di sekitar hutan. Keturunan para tentara inilah yang sekarang disebut sebagai Orang Rimba.
3. Pendapat yang mengatakan nenek moyang Orang Rimba adalah sisa sisa tentara Kesultanan Jambi dan tentara Kesultanan Palembang yang terlibat perang di wilayah Air Hitam. Setelah menjalani perang yang berkepanjangan dan melelahkan kedua pasukan itu sepakat untuk berdamai. Ternyata kedua pasukan tersebut tidak mau kembali ke kesultanan masing masing, mereka memilih untuk tinggal di sekitar hutan Air hitam dan menikah dengan perempuan perempuan Desa Air Hitam. Keturunan para tentara inilah yang sekarang disebut sebagai Orang Rimba.
4. Pendapat yang mengatakan bahwa nenek moyang Orang Rimba adalah kelompok masyarakat Desa Kubu Karambia kerajaan Pagar Ruyung yang menolak untuk menerima ajaran Agama Islam dan melarikan diri kekawasan hutan Bukit 12. Keturunan masyarakat inilah yang sekarang disebut sebagai Orang Rimba.
5. Pendapat yang mengatakan bahwa nenek moyang Orang Rimba adalah Imigran gelombang pertama yang datang ke Indonesia dari wilayah utara. Mereka datang pada tahun 2000 SM. Mata pencaharian mereka adalah bercocok tanam, berburu dan mengumpulkan hasil hutan. 1500 tahun kemudian datang gelombang imigran kedua ke Indonesia. Imigran gelombang kedua ini dalam segala hal jauh lebih unggul. Dengan mudah imigran gelombang kedua ini menaklukan imigran gelombang pertama. Menurut beberapa sejarawan, imigran gelombang pertama dijadikan budak oleh imigran gelombang kedua. Tidak tahan di perbudak akhirnya imigran gelombang pertama ini memutuskan untuk melarikan diri ke dalam hutan dan membentuk komunitas baru sebagai orang rimba. Keturunan imigran pertama inilah yang sekarang disebut sebagai Orang Rimba.
6. Pendapat yang mengatakan bahwa Orang Rimba adalah keturunan Ras Weddoid yang masih bertahan sampai saat ini. Ras Weddoid berasal dari Sri Lanka, diperkirakan datang ke Indonesia kira-kira tahun 4000 sebelum masehi. Mereka hidup dengan cara berburu dan meramu. Ras ini kemudian terdesak oleh Ras Melayu yang datang kemudian. Upaya mereka untuk tetap bertahan hidup adalah dengan masuk ke dalam hutan. Dengan tinggal didalam hutan mereka terhindar dari ancaman Orang Melayu yang dalam segala hal jauh lebih unggul dari mereka.
Dari pendapat-pendapat diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa nenek moyang Orang Rimba pada awalnya tidak tinggal di hutan. Mereka dipaksa tinggal di hutan oleh satu keadaan tertentu. Nenek moyang Orang Rimba memutuskan untuk tinggal di hutan sebagai bagian dari mekanisme pertahanan diri. Pada akhirnya hutan menjadi identitas diri bagi komunitas ini. Dari sini muncullah sebutan Orang Rimba bagi mereka, untuk membedakannya dengan Orang Terang yang tinggal di dusun.
Hidup di hutan tentu saja berbeda dengan hidup di kampung atau di desa. Mau tidak mau nenek moyang kami harus mengembangkan kemampuan hidup di dalam hutan. Ini adalah hal yang tidak mudah karena nenek moyang kami harus menciptakan aturan-aturan baru yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota kelompok. Salah satu hal terpenting dalam bertahan hidup didalam hutan adalah adanya organisasi sosial yang kecil dan mudah berpindah-pindah . Organisasi sosial yang kecil ini harus pula memiliki ketrampilan-keterampilan untuk bertahan hidup di dalam hutan.
3. Organisasi Sosial Orang Rimba Bukit 12
Persekutuan hidup Orang Rimba disebut Rombong. Satu rombong terdiri beberapa kerabat perempuan beserta suami dan anak-anaknya. Sama seperti di Minangkabau, system kekerabatan Orang Rimba adalah Matrilineal. Meskipun system kekerabatannya matrilineal, pemimpin setiap rombong tetaplah seorang laki-laki. Setiap rombong mempunyai wilayah kelola sendiri yang terpisah dengan wilayah kelola rombong lain.
Seorang pemimpin Rombong dipanggil dengan sebutan Tumenggung. Tugas utama seorang Tumenggung adalah memastikan dipatuhinya hukum adat oleh anggota-anggota rombongannnya. Di dalam melaksanakan tugas-tugasnya seorang Tumenggung dibantu oleh Wakil Tumenggung, Depati, Mangku, Debalang batin,dan Menti. Wakil Tumenggung bertugas mewakili Tumenggung apabila seorang Tumenggung berhalangan hadir untuk melaksanakan tugasnya.
Seorang Depati bertugas menangani kasus kasus yang berkaitan dengan hukum. Pembantu lainnya adalah Mangku. Tugas Mangku hampir sama dengan Depati yaitu mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum. Bedanya kasus kasus hukum yang ditangani oleh Mangku biasanya lebih kecil bobotnya apabila dibandingkan dengan kasus-kasus hukum yang ditangani oleh seorang depati.
Debalang Batin bertugas menjaga dan menegakan keamanan apabila terjadi situasi tak menentu, konflik dengan orang desa misalnya. Menti adalah orang yang bertugas memanggil seorang warga apabila diperlukan oleh Tumenggung atau oleh tokoh Orang Rimba lainnya. Dalam bertugas seorang menti bisa meminta bantuan kepada anak dalam.
Jabatan lain yang juga cukup penting adalah dukun, tengganai dan alim. Dukun dipercaya dapat menyembuhkan penyakit dan berhubungan dengan makhluk halus. Petunjuk seorang dukun, juga diperlukan oleh warga yang akan membuka ladang. Tengganai bertugas sebagai penasehat warga dalam urusan rumah tangga dan masalah hubungan antar anggota kelompok rombong. Seorang tengganai pada saat saat tertentu bisa memberi nasehat atau masukan pada Tumenggung disaat Tumenggung harus menghadapi tugas yang sangat berat. Alim bertugas memimpin upacara upacara keagamaan seperti upacara perkawinan, kematian, kelahiran bayi dan lain sebagainya.
Di luar semua itu adalah keluarga keluarga inti yang merupakan unit social terkecil dalam masyarakat Orang Rimba. Tidak ada tugas khusus bagi keluarga-keluarga inti, mereka hanya harus menjadi warga yang patuh pada adat.

Apabila jumlah jiwa dalam satu rombong dianggap sudah terlalu banyak, Tumenggung biasanya mengambil keputusan untuk memecahnya menjadi dua. Satu rombong tetap dipimpin oleh Tumenggung dan rombong pecahannya bisa dipimpin oleh wakil, mangku, depati, atau tengganai.
Walaupun kelihatannya sangat sederhana, organisasi sosial yang dibangun oleh Orang Rimba ini terbukti mampu bertahan sampai hari ini.

4. Upaya Bertahan Hidup di Dalam Hutan
• Berladang
Tidak semua kebutuhan hidup Orang Rimba dapat dipenuhi oleh hutan. Padi, umbi-umbian, cabe rawit, dan beberapa tanaman palawija tidak bisa kami dapatkan dari hutan. Untuk memenuhi semua itu, kami Orang Rimba harus menanamnya sendiri. Caranya adalah dengan membuka ladang. Langkah-langkah dalam sebuah pembukaan ladang adalah:1. Memilih lokasi, 2. Meminta pendapat dari dukun, 3. Penebasan, 4. Penebangan, 5.Pembakaran, 6 .Pembersihan, 7 .Penugalan, 8 Penanaman, .9 Pemeliharaan, dan 10.Pemanenan.
Membuka ladang, bagi Orang Rimba juga merupakan cara bagi seseorang untuk memiliki tanah. Orang yang pertama membuka ladang akan dianggap sebagai pemilik tanah tersebut. Sementara hutan yang belum dibuka dipandang sebagai milik bersama Orang Rimba. Hukum ini sudah berlangsung lama, dan semua Orang Rimba mentaatinya. Bisa dikatakan tidak pernah ada perebutan tanah di antara Orang Rimba.
Pemilihan lokasi adalah langkah paling awal dalam proses pembukaan ladang. Lokasi yang biasanya di pilih adalah lahan yang : 1. Tanahnya subur, 2. Lokasinya dekat dengan sumber air, 3. Permukaan tanahnya rata, 4. Tegak-tegakan pohonnya tidak terlalu rapat, 5. Bukan merupakan lokasi yang dilarang oleh adat, dan 6. Ini yang paling penting, lokasi itu belum pernah dibuka oleh Orang Rimba lainnya . Setelah menemukan lahan yang dicarinya, Orang Rimba akan menandainya dengan cara menebas pohon-pohon kecil. Hal ini dilakukan untuk memberitahu Orang Rimba lainnya untuk tidak memilih lokasi yang sama.
Setelah lokasi ditetapkan, adalah wajib hukumnya untuk bertanya kepada dukun. Sang dukun akan memberi restu apabila menurut pandangan batinnya, lokasi tersebut cocok untuk dijadikan ladang. Tapi sebaliknya Sang dukun akan melarang Orang Rimba untuk membuka ladang apabila menurut pandangan batinnya lokasi tersebut tidak cocok untuk dijadikan ladang. Biasanya Sang Dukun membutuhkan waktu satu sampai tiga hari untuk memberikan jawaban bagi Orang Rimba yang ingin membuka ladang baru.
Apabila Sang dukun memberi restu untuk membuka ladang baru, Orang Rimba akan segera melakukan penebasan atau dalam bahasa kami “mancah”. Penebasan atau mancah adalah menebas semak belukar dan pohon-pohon kecil yang terdapat disekitar lokasi perladangan. Alat yang digunakan adalah parang. Penebasan atau mancah biasanya memakan waktu satu minggu sampai satu bulan tergantung dari banyaknya orang yang terlibat. Semakin banyak yang terlibat semakain cepatlah pekerjaan selesai.
Langkah berikutnya adalah penebangan atau dalam bahasa kami Orang Rimba Bukit 12 disebut dengan “nobong”. Pohon-pohon besar yang terdapat disekitar lokasi perladangan harus kami bersihkan, karena apabila dibiarkan hidup nantinya akan menutupi pancaran sinar matahari yang dibutuhkan oleh pohon-ponon yang kami tanam. Alat yang biasa kami pakai untuk menebang adalah beliung. Sebuah alat yang bentuknya seperti kapak. Kini Orang Rimba yang tinggal dipinggiran hutan sering menggunakan gergaji mesin untuk melakukan penebangan. Dengan menggunakan gergaji mesin pekerjaan menjadi cepat selesai. Gergaji mesinnya sendiri mereka pinjam dari orang desa dengan imbalan tertentu. Bisa dikatakan tahap penebangan adalah tahap paling berat dalam proses pembukaan ladang.
Setelah pohon-pohon besar ditebang, setelah batang-batang yang besar dibersihkan, Orang Rimba membiarkan lokasi tersebut terbakar sinar matahari selama satu bulan. Penjemuran ini dimaksudkan untuk mengeringkan batang-batang kayu yang masih basah supaya nanti dalam proses pembakaran, batang-batang tersebut mudah dilalap api. Proses pembakaran diawali dengan membuat parit-parit pembatas. Orang Rimba tidak ingin hutan disekitar mereka ikut terbakar. Selain sangsinya berat, kebakaran hutan juga akan sangat merugikan Orang Rimba karena sebagian besar kebutuhan hidup mereka dipenuhi oleh hutan.
Pembakaran biasanya dilakukan pada saat letak matahari persis berada diatas kepala kami, sekitar jam satu siang. Untuk menghindari kebakaran hutan, harus diperhatikan juga arah mata angin dan kecepatan angin yang berhembus pada saat itu. Apabila anginnya terlalu besar dan mengarah pada hutan, kami harus menunda dulu pembakaran sampai anginnya tenang. Pembakarannya sendiri tidak berlangsung lama, paling lama hanya sekitar dua jam.
Proses pembakaran selama dua jam sudah cukup untuk membersihkan daun dan ranting-ranting yang berukuran kecil sampai sedang, tapi tidak cukup untuk membakar batang-batang yang berukuran cukup besar. Batang-batang yang tidak habis terbakar ini akan dikumpulkan dan dibakar ulang sampai tuntas. Orang Rimba percaya, abu hasil pembakaran daun, ranting dan batang-batang pohon itu akan menjadi pupuk yang kelak menyuburkan tanaman mereka.
Kini proses membuka ladang memasuki tahap akhir. Setelah ladang bersih dari batang-batang yang berserakan, kaum laki-laki Orang Rimba mulai membuat lubang-lubang untuk menanam biji biji padi ataupun biji-biji jagung. Untuk tugas menaburkan biji, baik padi atau pun jagung, kaum perempuan lebih dipercaya. Mereka dianggap lebih sabar dan teliti dibanding kaum laki-laki. Biji-biji ditaburkan kemudian ditutup dengan tanah.

Menanam ubi kayu, ubi jalar, keladi, tembakau dan tanaman semusim lainnya tidak sama dengan menanam padi atau jagung. Untuk menanam tumbuhan-tumbuhan itu Orang Rimba menggunakan alat yang disebut parang. Parang yang digunakan tidak sama dengan parang yang dipakai untuk menebas. Parang ini lebih pendek dan biasanya tidak tajam karena fungsi utamanya adalah untuk membongkar tanah.
Selain menanam pohon-pohon semusim, saat ini Orang Rimba Bukit 12 juga sangat rajin menanam pohon-pohon keras seperti buah-buahan dan karet. Kecenderungan untuk menanam karet semakin tinggi saja seiring dengan meningkatnya harga getah karet di sekitar Bukit 12.
Orang Rimba tidak mengenal system irigasi dalam bercocok tanam, jadi mereka praktis mengandalkan air hujan untuk menghidupi pohon-pohon yang ditanamnya. Dapat dimengerti kalau mereka menanam tumbuhan hanya di musim hujan saja. Sebidang lahan di kawasan Bukit 12 biasanya hanya digarap selama tiga kali masa tanam. Ladang yang sudah digarap selama tiga tahun berturut-turut, kesuburan tanahnya akan berkurang. Pohon karet dan pohon buah-buahan yang ditanam sudah mulai besar. Bahkan untuk pohon karet ada yang bisa mencapai tinggi empat meter. Menanam padi atau jagung sudah tidak lagi menguntungkan. Sebagai jalan keluarnya Orang Rimba akan membuka ladang baru. Ladang yang terdahulu akan dibiarkan untuk menjadi kebun.
• Berkebun
Kebun dalam pemahaman Orang Rimba adalah sebidang lahan yang ditumbuhi oleh tanaman-tanaman keras yang memang sengaja ditanam. Tanaman keras yang saat ini banyak ditanam adalah karet, durian, nangka, cempedak, duku, salak hutan, pisang, jengkol, petay, dan lain sebagainya. Bisa ditambahkan disini kebun adalah kelanjutan dari ladang Orang Rimba. Kebun merupakan harta penting bagi Orang Rimba terutama bagi mereka yang memiliki kebun karet yang sudah produktif. Berbeda dengan tumbuhan lainnya yang mengenal musim untuk berbuah, pohon karet bisa disadap setiap hari dan yang terpenting getahnya tidak sulit untuk dijual.


Orang Rimba pada awalnya tidak mengenal pohon karet, mereka mengenalnya lewat warga desa yang tinggal di sekitar bukit Dua Belas. Karena dianggap akan menguntungkan, beramai-ramailah Orang Rimba menanam karet. Saat ini bisa dikatakan, sebagian besar rombong Orang Rimba yang hidup di Bukit Dua Belas menggantungkan hidup pada pohon-pohon karet yang ditanamnya. Informasi terakhir, beberapa rombong di selatan Bukit 12 mulai juga menanam kelapa sawit. Bahkan beberapa diantaranya sudah mulai menikmati hasilnya.
Jangan sekali-kali membayangkan kebun Orang Rimba sama dengan kebun orang desa. Kebun Orang Rimba tidak banyak berbeda dengan hutan, hanya jenis tanaman kerasnyalah yang membedakannya dengan hutan. Orang Rimba tidak mempunyai kebiasaan khusus dalam merawat kebunnya. Sebagai akibatnya, seiring dengan perjalanan waktu, jenis tanaman yang tumbuh dikebun-kebun Orang Rimba semakin bertambah banyak. Bercampur dengan tanaman asli hutan. Seperti hutan, kebun Orang Rimba sering juga dijadikan tempat untuk mencari makan bagi hewan-hewan hutan. Babi hutan, rusa, landak, trenggiling, dan berbagai jenis burung sering dijumpai di sini.
• Berburu
Orang Rimba tidak punya tradisi untuk memelihara ternak seperti Orang Desa. Ada ungkapan yang terkenal di lingkungan Orang Rimba “ Adat kami adalah rimba yaitu berkambing kijang, berkerbau ruso, berhayom kua, berhatop serdang, berdinding kulit. Dengan tidak diperbolehkannya memelihara ternak, Orang Rimba mendidik dirinya sendiri untuk menjadi pemburu yang andal. Berburu merupakan ketrampilan yang diwajib dimiliki oleh setiap laki-laki dewasa Orang Rimba.
Ada dua teknik berburu yang dikembangkan oleh Orang Rimba, Pertama memasang jerat, Kedua menangkap langsung hewan buruan. 
Memasang jerat merupakan teknik berburu yang paling banyak dipraktekan oleh Orang Rimba. Tidak seperti memburu langsung hewan buruan yang hanya dapat dilakukan oleh laki-laki dewasa, memasang jerat bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk anak-anak. Anak-anak Rimba memang sejak kecil dididik oleh orang tuanya untuk menjadi pemburu yang andal. Pelajaran pertama dalam keahlian berburu adalah memasang jerat. Anak-anak sangat menyukainya, karena tak jarang jerat mereka berhasil menjebak hewan buruan.
Ada banyak jerat yang dikembangkan oleh Orang Rimba. Setiap hewan buruan ada jeratnya sendiri-sendiri. Sebagai contoh jerat untuk babi hutan tentu saja tidak sama dengan jerat untuk burung kuau. Dahulu bahan-bahan untuk membuat jerat semuanya diambil dari hutan. Jerat Orang Rimba biasanya dibuat dari berbagai jenis rotan. Rotan dipilih karena kuat dan mudah dibentuk sesuai dengang keinginan. Sekarang banyak Orang Rimba yang menggunakan tali plastic dan kawat baja karena dianggap lebih kuat dan tahan lama.
Setiap hari, Orang Rimba selalu melihat jerat-jerat yang mereka pasang sehari sebelumnya. Seandainya ada yang terjerat dan belum mati, mereka akan segera membunuhnya. Hewan-hewan yang seringkali terjebak oleh jerat-jerat Orang Rimba antara lain, babi hutan, rusa, kancil, musang, trenggiling, landak, tikus dan tupai.
Teknik kedua yang dikembangkan oleh Orang Rimba adalah mencari dan menangkap langsung hewan buruan yang ditemuinya. Diperlukan ketrampilan dan juga keberanian dalam menerapkan teknik ini. Perburuan dengan cara ini paling sedikit dilakukan oleh dua orang dewasa dibantu dengan anjing-anjing pemburu mereka. Alat yang dibawa antara lain: tombak, parang, tali untuk mengikat dan bekal berupa makanan dan minuman. Kini, banyak juga Orang Rimba yang menggunakan senapan angin atau bahkan senapan lantak (kecepek).
Dulu, ada banyak sekali binatang untuk diburu. Jadi Orang Rimba tidak perlu jauh-jauh pergi meninggalkan keluarga dan rombongnya. Kini, binatang buruan sudah semakin langgka. Ada kalanya para pemburu Orang Rimba harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dan tentu saja ini sangat melelahkan. Hewan buruan yang masih mudah didapat hanya tinggal babi hutan. Hewan lainnya seperti rusa, kancil, napuh, kijang dan tenuk sudah sangat jarang kami temui. Untuk mendapatkan hewan-hewan tersebut Orang Rimba harus cukup beruntung. Kalau tidak beruntung, mungkin hanya babi hutan yang bisa dibawa pulang ke rumah.

Tugas untuk membagi-bagi hewan buruan dipegang kaum wanita Orang Rimba. Kaum wanita dipilih untuk melakukan tugas ini karena dianggap paling tahu kebutuhan makan seluruh anggota keluarga atau rombong. Hewan buruan tidak dinikmati sendiri oleh keluarga si pemburu. Si pemburu punya kewajiban social untuk membagi hewan hasil buruannya kepada anggota rombong yang lain. Kebiasaan ini punya dua fungsi, pertama mencegah kelebihan makanan dan kedua semacam tanam jasa kepada anggota rombong yang lain. Itu artinya si pemburu dapat berharap banyak, suatu saat nanti, tetangganyalah yang balik memberi hasil buruan kepada keluarganya.
• Mengumpulkan bahan makanan
Apa yang dikerjakan kaum wanita dan anak-anak selama suaminya berburu? Seperti suku-suku bangsa lain di Indonesia, kaum wanita Orang Rimba bertugas mengumpulkan bahan-bahan makanan lainnya yang berupa tumbuh-tumbuhan. Mereka bisa mencarinya di hutan, di ladang atau kebun milik keluarga. Bahan-bahan yang bisa mereka dapat dari hutan antara lain, ubi hutan, gadung, keladi, sejenis jamur hutan dan daun-daun tertentu yang bisa mereka makan. Sementara yang bisa mereka dapatkan dari ladang adalah, ubi kayu, ubi jalar, cabe rawit, daun ubi kayu, dan ada kalanya padi kalau memang bertepatan dengan musim tanam padi.
Kebun Orang Rimba menyediakan banyak sekali makanan, terutama dari jenis buah-buahan. Kaum wanita sering kali membawa anak-anak kecil mereka untuk mengambil sesuatu dari kebun-kebun yang banyak terdapat disekitar rombong. Buahan-buahan yang seringkali mereka bawa ke rumah antara lain, rambutan, durian, tampui, pisang, duku, cempedak, bedaro dan salak hutan. Jenis lainnya yang bisa ditemukan di kebun adalah petay dan jengkol.

Semua bahan makanan, baik yang didapat dari hutan, ladang, ataupun kebun akan dibawa ke pondok-pondok Orang Rimba. Disana, di pondok-pondok itu semua makanan akan dinikmati bersama dengan hewan hasil buruan yang berhasil ditangkap oleh kaum laki-laki. Dengan cara seperti itulah Orang Rimba memenuhi kebutuhan pangannya sehari-sehari. Sederhana dan berkelanjutan.
• Memanfaatkan sungai
Kehidupan Orang Rimba tidak dapat dipisahkan dari sungai. Nama-nama kelompok Orang Rimba semuanya diambil dari nama sungai. Rombong Makekal, rombong Terap, rombong Kejasung Besar, rombong Kejasung Kecik, semuanya diambil dari nama-nama sungai yang terdapat dikawasan Bukit 12. Begitu pula letak rombong-rombong Orang Rimba semuanya terletak di tepi sungai, baik sungai besar ataupun sungai kecil.
Sungai bukan hanya tempat untuk mengambil air, mandi, atau cuci saja. Sungai menyimpan banyak harta yang bisa kami manfaatkan. Berbagai jenis ikan, kura-kura, katak, biawak, siput, kepiting dan belut banyak terdapat di sungai-sungai kami. Dalam menangkap ikan, kami menggunakan banyak cara. Kadang menggunakan tombak, kadang menggunakan sejenis perangkap yang kami sebut bubu. Tapi tidak jarang pula kami menggunakan semacam racun yang kami buat dari kulit pepohonan. Walaupun menggunakan racun, bukan berarti kami ingin membunuh semua ikan yang ada di sungai. Kami hanya menangkap ikan yang cukup besar, ikan-ikan kecil biasanya kami lepaskan kembali ke sungai. Kadar racun yang kami pakai tidak terlalu tinggi, biasanya dalam waktu sekitar tiga jam, efek racun akan hilang dengan sendirinya.
Selain ikan, kami juga menangkap labi-labi yaitu sejenis kura-kura air yang berkulit lembut. Daging labi-labi enak sekali rasanya. Menangkap labi-labi, gampang-gampang susah. Kalau beruntung, binatang itu akan terjebak pada bubu yang kami pasang. Tapi kalau tidak beruntung, kami harus mencarinya sampai ketemu. Binatang sungai yang paling sulit ditangkap adalah biawak. Biawak pandai sekali melarikan diri, bahkan dikejar anjing sekalipun seringkali mereka dapat meloloskan diri. Selain dagingnya yang enak dimakan, kulit biawak bisa kami jual kepada orang-orang desa. Sayangnya jumlah biawak, sekarang semakin sedikit saja. Mungkin akibat perburuan yang terlalu banyak dimasa lalu.
Orang Rimba sangat memperhatikan kebersihan sungai. Haram hukumnya untuk kencing dan buang air besar di sungai. Kami punya keyakinan, apabila ada orang yang kencing atau buang air besar di sungai, maka air sungai akan tercemar. Kalau sudah tercemar, maka berbagai penyakit akan menyerang kami. Untuk itu kami menerapkan hokum yang ketat dalam menjaga kebersihan sungai. Siapapun yang melanggar, pasti akan dikenai sanksi adat.
• Berdagang dengan Orang Terang.
Walau pun kami tinggal di hutan, bukan berarti kami tidak pernah berhubungan dengan orang luar. Kami membutuhkan jasa orang terang untuk mendapatkan barang-barang yang tidak mampu kami buat sendiri. Barang-barang tersebut antara lain: kain, parang, mata tombak, alat masak seperti wajan, kuali, panci, garam, gula, tembakau, dan sekarang kami juga banyak membeli makanan jadi seperti kue-kue, mie instant dan lain sebagainya. Barang-barang itu biasanya kami dapatkan di pasar desa yang bukanya Cuma satu hari dalam seminggu. 
Untuk mendapatkan barang-barang yang kami butuhkan, kami harus mempunyai uang. Cara kami mendapatkan uang adalah dengan menjual barang-barang yang dibutuhkan oleh Orang Terang. Barang-barang yang banyak dijual oleh Orang Rimba kepada Orang Terang antara lain: getah jernang, getah jelutung, balam, madu, rotan, binatang buruan dan kini yang paling banyak dijual adalah getah karet. Sebagian kecil Orang Rimba bahkan sudah ada yang menjual buah sawit hasil tanamnya.

Pola perdagangan kami yang sekarang tidak sama dengan zaman dulu. Dahulu system perdagangan kami adalah barter, yaitu tukar-menukar barang. Barang-barang yang akan kami tukar kami bawa ke suatu tempat yang sudah ditentukan. Orang terangpun melakukan hal sama, membawa barang-barang yang akan mereka tukar. Di sebuah tempat yang sudah ditentukan Orang Rimba dan Orang Terang melakukan tukar-menukar barang tanpa menggunakan perantara.
Seiring dengan perkembangan zaman, muncullah orang orang desa yang berperan sebagai perantara antara Orang Rimba dan Orang Terang yang hendak berdagang. Orang Rimba menamakan para perantara ini dengan sebutan jenang atau waris. Jenang dan waris dipercaya mempunyai hubungan khusus dengan leluhur Orang Rimba. Oleh karenanya mereka sangat dihormati oleh Orang Rimba. Pada masa inilah Orang Rimba mulai menggunakan uang sebagai alat tukar. Jenang dan waris pada akhirnya tidak hanya bertugas sebagai perantara, banyak dari mereka memposisikan diri sebagai Toke atau pengumpul.
Peran Jenang dan waris mulai surut, seiring dengan semakin mudahnya Orang Terang mengakses sumber ekonomi Orang Rimba. Proyek Transmigrasi yang segera disusul dengan pembukaan Perkebunan Sawit menyebabkan jarak antara Orang Terang dan Orang Rimba jadi semakin dekat. Orang-orang Terang yang bermodal banyak, tidak ingin lagi menggunakan jasa jenang dalam berdagang dengan Orang Rimba. Mereka bisa mendapatkan harga yang lebih murah, apabila membeli langsung dari Orang Rimba.
Pada awalnya Orang Rimba tidak berani berdagang langsung dengan orang Terang tanpa perantaraan jenang atau waris. Mereka takut kualat. Tapi pada akhirnya banyak juga yang memutuskan untuk berdagang langsung dengan toke-toke itu karena dianggap lebih menguntungkan ketimbang memakai jenang sebagai perantara. Namun begitu masih cukup banyak Orang Rimba yang masih menggunakan jenang sebagai perantara. Terutama rombong Orang Rimba yang tinggal jauh di dalam hutan.

5. Menjaga tempat tempat keramat
Banyak orang yang beranggapan, termasuk di dalamnya Pemerintah, cara berladang kami akan mengakibatkan gundulnya hutan di Bukit 12. Orang-orang yang beranggapan seperti itu sudah pasti tidak mengenal kami secara baik. Kami sudah lama tinggal di hutan-hutan Bukit 12 dan faktanya hutan di Bukit 12 tetap ada. Orang-orang luar tidak tahu, bagian kecil hutan yang kami buka untuk dijadikan ladang pada akhirnya akan menjadi kebun. Kebun Orang Rimba pada akhirnya akan berwujud seperti hutan juga. Jadi dengan kata lain, kami hanya sekedar meremajakan hutan saja. Disamping itu, ada banyak tempat di dalam hutan yang sama sekali tidak boleh dibuka untuk dijadikan ladang. Tempat-tempat itu akan tetap menjadi hutan sampai kapan pun, selama hukum adat masih kami pegang. Untuk lebih jelasnya kami akan menerangkan satu persatu tempat yang dianggap keramat oleh Orang Rimba..
1. Tano Peranakon
Tempat orang rimba melahirkan putra-putrinya.
2. Tano Pasoron
Tempat orang rimba menyimpan jenazah anggota keluarga.
3. Tano Terban
Tanah yang terdapat disisi-sisi jurang. Dengan sendirinya tanah ini mudah sekali mengalami longsor.
4. Sentubung Budak
Tempat orang rimba .menanam bali (plasenta).
5. Balo Balai
Tempat orang rimba melangsungkan pernikahan.
6. Balo Gajah
Tempat yang dipercaya oleh Orang Rimba didiami oleh dewo penguasa hutan (gajah)
7. Inum-inuman
Mata air yang terdapat dalam hutan.
8. Tempelanai
Tanah yang berbentuk seperti tonjolan-tonjolan. Dipercaya oleh Orang Rimba sebagai kuburan penguasa hutan.
9. Tempat Tumbuh Sialang
Kawasan tempat tumbuhnya jenis-jenis pohon yang dijadikan sarang oleh lebah madu.
10. Tempat Tumbuh Jernang
Kawasan tempat tumbuhnya sejenis rotan yang sangat berharga bagi orang rimba, diambil buahnya bukan batangnya .
11. Tempat Tumbuh Buah-buahan
Kawasan tempat tumbuhnya pohon buah-buahan yang bernilai ekonomi tinggi. 
12. Tempat Tumbuh Tenggiris
Kawasan tempat tumbuhnya sejenis pohon yang berkasiat sebagai obat-obatan tradisional. Contohnya untuk mengeraskan ubun-ubun bayi.
13. Jemban Budak
Tempat untuk pertama kalinya bayi dimandikan.
14. Bendungan atau Tebat
Tempat yang dipercaya oleh Orang Rimba sering didatangi dewa-dewa untuk mandi.
15. Tanah Bersejarah
Kawasan yang dipercaya oleh Orang Rimba memiliki kaitan sejarah dengan kehidupan leluhur mereka.
16. Payo lebor.
Tanah basah yang banyak ditumbuhi tumbuhan-tumbuhan air. Bisa juga disebut rawa hutan.
Sampai hari ini tempat-tempat tersebut, masih tetap utuh sebagai sebagai rimba. Tidak ada Orang Rimba yang berani melanggarnya karena sangsi yang akan ditanggungnya apabila melawan, sangat berat.

Kamu Harus Baca Juga ini :

Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang

Siaran Pers Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang Jambi- Problematika industri pertambangan Batubara dan proses pengangkutannya masih menjadi permasalahan serius yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Pasca dilantiknya Gubernur...

Read More