Kerusakan Lingkungan
Merkuri Cemari Sungai Batanghari
JAMBI, KOMPAS — Penambangan emas liar diduga sebagai sumber utama
pencemaran di Sungai Batanghari, Jambi. Aktivis lingkungan mendesak
pemerintah segera menguji kandungan merkuri dalam sungai yang selama ini
dimanfaatkan sebagai bahan baku kebutuhan air minum masyarakat.
Koordinator Gerakan Cinta Desa Eko Waskito mengatakan, aktivitas tambang
emas liar kian marak di kawasan hulu Sungai Batanghari. Di Kecamatan
Limun, Kabupaten Sarolangun, saja ada sekitar 400 dompeng dan hampir
3.000 petambang beroperasi. Penambangan yang semula dilakukan secara
tradisional secara turun-temurun mulai beralih pada mesin dompeng sejak
10 tahun terakhir. Penambangan meluas tidak hanya di Sarolangun, tetapi
juga di Kabupaten Merangin, Tebo, Bungo, dan Batanghari.
Pemurnian emas menggunakan air raksa ini mengakumulasi racun merkuri di
sungai ataupun daratan setempat. Penambangan bahkan didukung para
pemodal besar, yang menggunakan alat- alat berat untuk mengeruk pasir
dan tanah sehingga dengan cepat menimbulkan kerusakan di sepanjang
daerah aliran sungai. Petambang menggunakan air raksa untuk memurnikan
emas, lalu membuang limbahnya langsung ke sungai. “Pembuangan racun
merkuri sudah sangat parah di kawasan hulu Batanghari,” tutur Eko, Kamis
(19/6).
Kadar tinggi
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Musri Nauli
memperkirakan kadar merkuri dalam Sungai Batanghari tinggi akibat
maraknya penambangan emas. Terkait itu, pihaknya mendesak Pemerintah
Provinsi Jambi untuk menguji kadar merkuri air sungai. Ini mengingat air
Sungai Batanghari dikonsumsi masyarakat untuk kebutuhan air minum.
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Mayang yang memenuhi 66 persen
kebutuhan air minum di Kota Jambi juga memanfaatkan air Batanghari.
Dari penelusuran Kompas, PDAM dan Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi
Jambi belum pernah menguji kadar merkuri air sungai itu. Kepala Bagian
Produksi PDAM Erwin Zuchri mengatakan, butuh biaya Rp 400 juta-Rp 450
juta untuk membeli alat penguji kadar merkuri.
Dana sebesar itu, menurut dia, lebih penting dialokasikan untuk membeli
mesin pompa atau memperbaiki pipa distribusi air PDAM yang sebagian
telah berusia lebih dari 30 tahun.
Kepala Bidang Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Badan
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jambi Ardi mengatakan, pencemaran air
Batanghari lebih disebabkan oleh limbah domestik. (ITA)
http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007338563
Merkuri Cemari Sungai Batanghari
Publikasi Terbaru Kami
Sidang Keempat Ibu Dewita : Kesaksian Ahli Jaksa Penuntut Umum
Debat Pilgub Jambi 2024: Tinjauan Kritis WALHI terhadap Visi Calon Gubernur yang Minim Terobosan
Sidang ketiga Ibu Dewita : Mengupas Fakta Persidangan Kasus Pembakaran Lahan di Konsesi PT ABT
Sidang kedua Ibu Dewita : Menyemai Kehidupan di Lahan Kering, Dihadapkan dengan Tuduhan Tak Beralasan
Sadis! Dedi Irawan Nyaris Tewas Digorok PK Mafia Tanah di Batanghari
Jadilah Bagian dari WALHI Jambi
Kamu Harus Baca Juga ini :
Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang
Siaran Pers Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang Jambi- Problematika industri pertambangan Batubara dan proses pengangkutannya masih menjadi permasalahan serius yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Pasca dilantiknya Gubernur...
Read MoreSiaran Pers – Solidaritan Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Kekerasan dan Pembangunan Kawasan Rempang Eco-City
Siaran PersSolidaritan Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Kekerasan dan Pembangunan Kawasan Rempang Eco-City Hentikan Program Strategis Nasional Kawasan Rempang Eco-City, Copot Kapolresta Barelang, Kapolda Kepulauan Riau, dan Komandan Pangkalan TNI AL...
Read MoreBriefing Papper “El-Nino dan Ancaman Api dari Konsesi (Peringatan Bagi Negara)”
Briefing Papper Wahana Lingkungan Hidup Indonesia 2023 Kutipan Media 1.Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional “Pengurus negara ini tidak boleh terus membebani rakyat untuk mitigasi dan...
Read MorePers Rilis “Provinsi Jambi Dalam Ancaman El Nino 2023”
Kebakaran-hutan-di-Provinsi-JambiUnduh
Read More