Margo Pesenggrahan dan Kawasan Hutan Adatnya


Margo adalah istilah dari wadah atau badan dari kelompok masyarakat yang terdiri dari gabungan dari beberapa dusun,  yang merupakan perkumpulan dari masyarakat adat yang mempunyai adat istiadat dan selalu menjadi pedoman bagi masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari. Adat istiadat itu mengatur baik didalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di tengah masyarakat seperti pembagian tanah, membicarakan harta waris dan juga mengatur upacara-upacara adat seperti kelahiran dan perkawinan
Margo Senggrahan terdiri dari Dusun Kandang, Dusun Lubuk Beringin, Dusun Lubuk Birah dan Dusun Durian Rambun Sejak dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, maka dusun-dusun yang semula ada didalam Margo Senggrahan kemudian dijadikan sebuah desa.  Dusun Kandang dan Dusun Lubuk Beringin digabung menjadi satu desa. Kemudian dusun Lubuk Birah dan Dusun Duran Rambun masing-masing menjadi satu Desa, secara administrasi pemerintah desa tersebut masuk dalam Kecamatan Muara Siau Kabupaten Merangin Propinsi Jambi. Jarak dari ibu kota propinsi jambi ±337 Km dengan memakan waktu perjalanan ±9 Jam, dari ibu kota Kabupaten ±64 Km waktu tempu ±4 Jam dan dari ibu kota kecamatan ±24 Km dengan waktu tempu perjalanan ±2 jam  .
Keberadaan Margo Senggrahan sudah ada jauh sebelum zaman penjajahan Belanda maupun zaman penjajahan Jepang ini terbukti masih adanya kantor peninggalan zaman belanda dan tembo sejenis buku sejarah adat margo senggrahan. Pimpinan tertinggi dari Margo Senggrahan disebut dengan nama Pasirah. Sedangkan di setiap dusun-dusun dipimpin oleh Depati.
Apabila dilihat dari luas wilayah, maka dari beberapa Margo yang ada di Kabupaten Merangin, Margo Senggrahan yang sangat luas wilayah. Luas wilayah dan hutan Margo Senggrahan ±18 Km2. Nenek moyang Margo Senggrahan berasal dari keturunan Jawa dan Sumatera Barat (Minangkabaru).
Untuk menentukan batas wilayah Margo Senggrahan, Margo Senggrahan mengenal Tembo. Tembo digunakan sebagai batas wilayah Margo Senggrahan yang berpatokan kepada tanda-tanda alam. Tanda-tanda alam hingga sekarang masih bisa dijumpai.
Menurut Tembo batas wilayah Margo Senggrahan yaitu “Srik serumpun muaro nilo”,  “lubuk melasi/lubuk tubo”, “renah rutan udang/sungai keladi”, “napal tekuk rajo/renah cempedak jalu”. Menurut tembo yang kemudian dihubungkan dengan pemetaan partisipatif maka “Srik serumpun muaro nilo” adalah sebelah utara, “melasi/lubuk tubo” adalah  sebelah selatan, “renah rutan udang/sungai keladi” adalah sebelah barat dan “napal tekuk rajo/renah cempedak jalu” adalah sebelah timur
Kawasan Hutan Margo Senggrahan salah satu termasuk hutan yang luas di Kabupaten Merangin, sejak ditetapkan oleh pemerintah kawasan hutan margo pesenggrahan menjadi status kawasan hutan produksi dan kemudian diberikan izin oleh pemerintah kepada pihak perusahaan PT. Injapsin untuk dimanfaatkan menjadi hak penguasaan hutan (HPH)  dengan SK. HPH No. 107/Kpts-IV/88 luas; 61.610 Ha, izin operasi dikeluarkan tanggal 29-02-1988 sampai masa berakhirnya tanggal 29-02-2008, didalam proses pemberianzin sampai pelaksanaan masyarakat adat margo pesenggrahan tidak perna terlibat sampai-sampai pihak perusahaan tidak perna memberikan kontribusi terhadap masyarakat margo senggrahan.
Mata pencarian masyarakat Desa tergantung pada sektor pertanian seperti berladang, sawah, karet dan jenis-jenis pertanian lainnya. Jumlah penduduk Desa Durian Rambun, Lubuk Beringin dan Lubuk Birah ±1800 orang. Desa-desa yang termasuk kedalam Margo Senggarahan terletak didataran tinggi. Dengan ketinggian dari 400-600 mdpl yang  merupakan hulunya Daerah aliran Sungai (DAS) yang kemudian menyusuri sungai-sungai di dalam wilayah di Propinsi Jambi. Desa-desa di sekitar kawasan hutan merupakan areal Ex HPH PT. INJAPSIN.  Sejak pemberian izin HPH PT. INJAPSIN telah habis masa berlakunya, maka masyarakat Margo Senggrahan ingin menjadikan hutan tersebut menjadi hutan adat. Keinginan ini didasarkan kepentingan pengelolaan sumber daya alam  dan dapat diwariskan kepada generasi mendatang dan sumber-sumber kehidupannya. Keinginan masyarakat dari desa-desa yang termasuk ke dalam Marga Senggrahan juga telah diatur didalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Kehidupan Masyarakat Margo Senggrahan sangat rukun dan taat terhadap peraturan baik berupa peraturan negara maupun aturan adat mereka. Masyarakat Margo Senggrahan juga hidup sederhana. Untuk mencukupi ekonomi bisa didapatkan dari sektor hutan Sementara itu sambil menanama padi, masyarakat Margo Senggrahan juga mengambil hasil hutan seperti rotan, garu, manau dan untuk jernang untuk dijual memenuhi kebutuhan hidup dan hasil hutan. Hasil hutan tersebut dijual untuk membeli kebutuhan makan sehari-hari. Masyarakat Margo Senggrahan juga  mencari ikan di sungai dengan menggunakan sukam (alat penangkap ikan tradisonal adat margo senggrahan.  Dengan demikian maka kehidupan Masyarakat Margo Senggrahan dari dulu sampai sekarang  hanya bertani.  Pola hidup bertani masyarakat Margo Senggrahan :
1.     Setelah selesai melakukan kewajiban sholat subuh, kaum laki-laki sudah berangkat ke ladang dengan membawa peralatan dan perlengkapan berladang. Mereka  berada diladang sampai jam 14.00 wib. Mereka baru pulang ke rumah  setelah pukul 14.00 wib. Setelah pulang dari ladang kaum laki-laki yang tidak menginap di ladangnya mereka mencari ikan dan kayu api atau masuk ke dalam hutan damar, jernang mengambil rotan untuk dibuat tikar.  Pada malam harinya kaum laki-laki tersebut pergi ke sungai untuk melihat sukam (alat penangkap ikan).  Sedangkan bagi yang tidak mempunyai sukam, kaum laki-laki berkumpul dan beristirahat dengan keluarganya. Itulah kehidupan sehari-hari Masyarakat Margo Senggrahan,
2.     Sedangkan  kaum  perempuan  setelah selesai sholat subuh mereka langsung masak untuk sarapan suami serta anak-anaknya dan juga mempersiapkan makanan untuk dibawa keladang. Setelah bapak berangkat, kaum ibu mempersiapkan pakaian sekolah dan perlengkapan untuk anaknya ke sekolah. Setelah anak-anak dan bapak berangkat, kaum ibu kemudian mencuci pakaian keluarga. Setelah selesai mencuci, kemudian memasak untuk makan siang dan kemudian dibawa keladang untuk oleh bapak serta anaknya. Sesampai di ladang, ibu langsung bekerja membantu bapak hingga sore hari.  Setelah pulang ke rumah dari ladang, ibu langsung masak untuk makan malam dan kemudian baru istirahat.

Kamu Harus Baca Juga ini :

Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang

Siaran Pers Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang Jambi- Problematika industri pertambangan Batubara dan proses pengangkutannya masih menjadi permasalahan serius yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Pasca dilantiknya Gubernur...

Read More