Muaro Tebo, 30 September 2024 – Dewita Br. Silalahi, seorang perempuan tangguh yang kini tengah menghadapi cobaan berat dalam kehidupannya, resmi memulai perjuangannya di meja hijau. Kasus yang menjerat Dewita, terkait dugaan pelanggaran Undang-Undang Kehutanan, telah membawanya ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Muaro Tebo, Jambi. Pada tanggal 30 September 2024, persidangan perdana Dewita dilaksanakan di Pengadilan Negeri Muaro Tebo, setelah melalui berbagai proses hukum yang menguras fisik dan mentalnya.
Dewita, yang dikenal sebagai tokoh masyarakat pedesaan dan aktivis lingkungan, kini berada di bawah tekanan hukum. Ia didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan dua opsi pasal yang berat: pertama, Pasal 78 ayat (4) Jo Pasal 50 ayat (2) huruf B, atau kedua, Pasal 78 ayat (3) Jo Pasal 50 ayat (2) huruf A dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kedua pasal ini, yang telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, membuat Dewita terancam menghadapi hukuman serius.
Tim Hukum dan Dukungan WALHI
Pendampingan Dewita tidak terlepas dari dukungan kuat tim hukum dan organisasi masyarakat sipil, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). Pendampingan resmi dimulai pada hari Sabtu, 28 September 2024, ketika tim WALHI Jambi berangkat dari kantor mereka menuju Lapas Muaro Tebo. Tujuan awal tim adalah memastikan bahwa Dewita mendapatkan hak hukumnya secara penuh, termasuk pengurusan surat kuasa yang menjadi dokumen penting untuk menghadapi persidangan.
Setelah berhasil mengurus surat kuasa pada hari itu, pada keesokan harinya, 29 September 2024, tim melanjutkan dengan menggalang dukungan dari media lokal di Kabupaten Tebo. Dalam diskusi bersama jurnalis-jurnalis lokal, terungkap bahwa meskipun media mengetahui perkembangan kasus ini, isu hukum Dewita masih belum banyak dipublikasikan ke publik luas. Menurut beberapa pihak, ada kekhawatiran tertentu yang membuat pemberitaan kasus ini tidak muncul secara masif. Hal ini menambah beban perjuangan Dewita dan timnya, yang juga berupaya agar isu ini bisa diangkat dan mendapatkan perhatian dari masyarakat luas.
Sidang Perdana: Momen Penentuan
Sidang perdana yang berlangsung pada tanggal 30 September 2024 dipimpin oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Hotma Edison Parlindungan Sipahutar, S.H., M.H., didampingi oleh dua hakim anggota, Silva Da Rosa, S.H., M.H., dan Mohammad Fikri Ichsan, S.H., M.Kn. Persidangan dimulai dengan pembacaan dakwaan oleh JPU Hari Anggara, S.H., M.H., yang menegaskan dua opsi dakwaan yang bisa dijeratkan kepada Dewita Br. Silalahi. Opsi ini terkait dugaan perusakan atau pemanfaatan hutan secara ilegal, sebuah tuduhan serius yang dapat mengakibatkan hukuman penjara dalam jangka panjang.
Pada momen tersebut, Dewita tampak tenang meskipun tekanan berat jelas terpancar dari setiap sudut ruang sidang. Keluarga dan anak-anaknya, yang setia menunggu di luar ruang sidang, akhirnya diperbolehkan menemui Dewita di sel tahanan pengadilan setelah persidangan selesai. Dengan didampingi oleh kuasa hukumnya, Zico Tambunan, S.H., keluarga Dewita menguatkan semangatnya di tengah situasi yang tidak mudah ini.
Pernyataan WALHI Jambi: Menegaskan Komitmen
Di tengah proses hukum yang berat ini, Abdullah, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jambi, menyatakan dengan tegas bahwa WALHI Jambi akan terus mengawal kasus Dewita Br. Silalahi hingga tuntas. Menurut Abdullah, ini bukan hanya soal satu individu, tetapi juga tentang keadilan bagi masyarakat yang seringkali tersisih dalam sistem hukum yang lebih menguntungkan kepentingan tertentu. “Kami akan memastikan bahwa masyarakat, termasuk Ibu Dewita, mendapatkan keadilan hukum yang sepatutnya. Kami yakin bahwa Ibu Dewita tidak bersalah, dan kami akan terus membuktikannya di persidangan,” ungkap Abdullah dalam wawancara eksklusif.
Pernyataan ini menegaskan posisi WALHI Jambi dalam mendukung penuh Dewita serta upaya mereka dalam menghadirkan bukti-bukti yang meringankan Dewita di hadapan hukum. Abdullah juga menyebut bahwa kasus ini adalah bagian dari perjuangan yang lebih besar dalam melindungi hak-hak masyarakat adat dan petani, yang sering terpinggirkan oleh kebijakan yang tidak berpihak.
Tantangan Hukum di Tengah Harapan
Dalam dakwaan yang dibacakan, Dewita dituduh melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Perubahan undang-undang ini memperketat pengaturan penggunaan hutan, yang berimplikasi langsung pada aktivitas masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam. Meski demikian, tim kuasa hukum Dewita meyakini bahwa ada celah-celah hukum yang dapat digunakan untuk membela hak-hak Dewita, terutama terkait aspek legalitas penggunaan lahan yang ia tempati.
JPU sendiri berencana menghadirkan saksi-saksi yang memberatkan dalam sidang selanjutnya, yang dijadwalkan berlangsung pada tanggal 14 Oktober 2024. Pada sidang tersebut, diharapkan Dewita dapat menunjukkan bukti-bukti yang meringankan dan membuktikan bahwa ia bukan pelaku pelanggaran hukum seperti yang didakwakan.