Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim (COP UNFCCC) telah menyepakati agar suhu bumi tidak boleh mencapai 2 derajat celcius. Ketakuan manusia terhadap suhu bumi mencapai 2 derajat celcius akan menciptakan bencana iklim yang berkepanjangan seperti Gagal panen, cuaca ekstrem hingga tidak teraturnya musim tanam dan musim panen menyebabkan kekurangan pangan yang dibutuhkan oleh manusia.
Berbagai ahli kemudian “memaksa” agar memangkas emisi karbon dioksida hingga 70% pada tahun 2050 (Paris Agreement 2015).
Pada pertengahan 2007, UNFCCC meminta kelompok negara-negara industri anggota G8 (Negara Annex 1 yang biasa juga disebut sebagai Negara-negara utara) untuk memberi dukungan politik dan pendanaan terhadap rencana baru Bank Dunia yaitu fasilitas kemitraan karbon hutan atau Forest Carbon Partnership Facility (FCPF).
Ide dasar dari negara-negara utara membayar negara-negara selatan untuk melakukan upaya untuk mengurangi penggundulan hutan dalam wilayah negara mereka. Salah satu usulan adalah dengan memberi bantuan keuangan untuk kepentingan tersebut.
Angka cukup menggiurkan hingga mencapai US$3,75 miliar (Rp33,75 triliun) pertahun dari negara-negara maju dan diharapkan mampu menyelesaikan masalah kerusakan hutan.
Namun komitmen dunia terhadap penggunaan emisi karbon dioksida menimbulkan ambigu. Negara-negara maju sama sekali tidak mau menurunkan penggunaan emisi karbon dan kemudian bertindak seperti “sinterklas” dengan mengucurkan dukungan pendanaan kepada Negara-negara berkembang.
Sementara negara berkembang yang menerima dukungan pendanaan dari Negara maju justru terjebak dengan proyek-proyek yang berbau “perubahan iklim” dengan membangun contoh-contoh yang kemudian terbukti gagal.
Menjadi ketidakadilan, Negara-negara maju terus menghasilkan emisi karbon dan menyatakan tidak bersalah kemudian menyediakan dukungan pendanaan kepada Negara lain (greenwash). Padahal yang adil, dimana Negara maju bersedia untuk mengurangi penggunaan emisi karbon dan membebankan tanggung jawab Negara untuk “memperbaiki keadaan di Negara lain”.
Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon hingga 29% tahun 2030. Komitmen ini dibangun sebagai bagian dari sikap Pemerintah Indonesia untuk memenuhinya dengan cara “moratorium hutan primer dan konversi lahan gambut dan “ambisi” penggunaan energi terbarukan mencapai 23 % tahun 2030.
Namun upaya Pemerintah Indonesia bertentangan dengan fakta-fakta di lapangan. Di Jambi sendiri, deforestrasi telah menyebabkan masalah besar.
Dari 2,1 juta kawasan hutan, tutupan hutan relative baik tinggal 800 ribu. Namun 800 ribu hutan berada di Taman Nasional, Hutan Lindung dan Hutan yang berada di lereng dengan kemiringan mencapai 40 derajat.
Konversi gambut telah merusak ekosistem gambut mencapai setengah luas gambut (Studi Pengolahan Lahan dan Hutan Gambut, Februari 2015).
Dari 700 ribu hektar, 350 ribu hektar sudah rusak baik telah dibebani izin sawit, HTI dan kebakaran
Sebanyak 33 desa tersebut berada di dalam kawasan perkebunan kelapa sawit lahan gambut dan 48 desa berada di kawasan HTI lahan gambut. Desa – desa yang memiliki lahan dan hutan gambut tersebut tersebar di Kabupaten Tanjungjabung Barat, TanjungjabungTimur dan Muarojambi.
Dampak perubahan iklim mulai dirasakan oleh masyarakat di lapisan bawah. Masyarakat yang bermukim di areal gambut mengeluhkan tentang tahun tanam yang tidak teratur hingga tidak ditemukan ikan khas sebagai makanan sehari-hari.
Selain itu kebakaran yang massif selama 5 tahun terakhir berdampak buruk terhadap kesehatan juga menimbulkan persoalan.
Kebakaran tahun 2015 selama 3 bulan telah menghasilkan asap pekat. Menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. NASA memperkirakan 600 juta ton gas rumah kaca telah dilepas akibat kebakaran hutan di Indonesia tahun ini. Jumlah itu kurang lebih setara dengan emisi tahunan gas yang dilepas Jerman.
Selain terganggunya tahun tanam dan hasil panen yang berbarengan dengan banjir juga belum terselesaikannya berbagai konflik.
Namun yang lebih ironi adalah ketika masyarakat yang ternyata terbukti menjaga hutan dan mengelola hutan sebagai serapan karbon dioksida kemudian tersingkir dari akses terhadap hutan. Bahkan masyarakat kemudian dituding dan harus dikorbankan pula hak hidupnya atas nama konservasi dan penyelamatan iklim bumi. Aksesnya kemudian dibatasi baik atas nama “proyek restorasi ekosistem” atau proyek konservasi oleh Negara yang kemudian diberikan kepada swasta.
Pengalaman buruk seperti penetapan kawasan restorasi di daerah landscape Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Masyarakat Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo sama sekali tidak dilibatkan bahkan “dapat dikategorikan sebagai “perambah” sehingga penetapan kawasan sebagai akses ruang kelola masyarakat kemudian ditetapkan sebagai kawasan restorasi ekosistem yang diberikan kepada PT. Alam Bukit Tigapuluh. Proyek Restorasi PT. Alam Bukit Tiga Puluh didukung oleh konsorsiumWorld Wildlife Fund (WWF), Zoologische Gesellschaft Frankfurt (FZS), The Orangutan Project (TOP) dan mendapat pendanaan dari Kreditanstalt für Wiederaufbau (KFW) Jerman.
Luas proyek restorasi PT. ABT adalah 38.665 Ha yang terdiri dari dua blok. Blok I seluas 22.095 Ha di Desa Suo-suo, Dusun Semarantian yang didiami oleh Suku Talangmamak. Blok II seluas 16.570 Ha di Desa Pemayungan. Setelah overlay peta, 12.708 ha wilayah Blok II masuk dalam wilayah administrasi Desa Pemayungan.
Selain tidak adil dan transparan, proyek ini juga sangat mengancam keberlanjutan penghidupan masyarakat. Ada 314 KK atau 1.398 jiwa warga Pemayungan yang menggantungkan hidupnya dari bertani dan berkebun. Desa ini telah dikepung berbagai Industri dan taman Nasional.
Masyarakat Pemayungan sama sekali tidak dilibatkan bahkan “dituduh dikategorikan sebagai “perambah” sehingga penetapan kawasan sebagai akses ruang kelola masyarakat kemudian ditetapkan sebagai kawasan restorasi ekosistem yang diberikan kepada PT. Alam Bukit Tigapuluh.
Padahal masyarakat Pemayungan mengenal pola pengaturan terhadap hutan dan lingkungan hidup. Mereka mengenal tempat-tempat yang dilarang untuk dibuka yang dikenal dengan istilah hutan keramat seperti tanah sepenggal, Bulian bedarah, Bukit selasih dan Pasir Embun. Yusmar Yusuf menyebutkannya “rimbo simpanan atau rimbo larangan. Sedangkan Tideman melaporkan sebagai “rimbo ganuh
Masyarakat bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terdapat dalam hutan. Pohon-pohon itu tidak diboleh ditebang seperti pohon durian, duku, bedaro, manggis, petai dan pohon sialang. Van Vollenhoven memberikan istilah “Beschikkingrecht”.
Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan Depati (volkshoofd). Ini ditandai dengan seloko “alam sekato rajo. Negeri sekato bathin”. Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Dimana tembilang tecacak. Disana tanaman tumbuh. Hak ini kemudian dikenal dengan istilah hak Membuka Tanah (ontginningrecht).
Apabila tidak digarap, “sesap jerami, tunggul pemarasan”, maka hak untuk menggarap tanah menjadi hilang.
Dalam teori hak individu atas tanah, biasa dikenal dengan “hak wenang pilih”. Sehingga hak seperti Hak Menikmati (genotrecht) dan dan memiliki hak terdahulu (voorkersrecht) atas tanah yang digarapnya. Tiderman memberikan istilah ”tanah belukar tuo dan tanah belukar mudo.
Bahkan mereka mempunyai cara didalam menyelesaikan persoalan dengan cara “Tumbuh diatas tumbuh”. Tumbuh diatas tumbuh apabila dilihat dari makna harfiahnya berarti “setiap persoalan harus dilihat dari sebab perbuatan itu terjadi”. Sebagai contoh, sebuah perkelahian yang terjadi, tentu saja harus didengarkan dari keterangan dua pihak. Mengapa perkelahian itu terjadi. Sebelum dijatuhkan pidana adat (delik adat) seperti “menguak daging. Merencong tulang”, harus dipastikan mengapa peristiwa itu terjadi.
Dalam proses penyelesaian dikenal dengan istilah “jenjang adat”. “Berjenjang naik bertangga turun. Dimulai dari saksi melaporkan kepada Kepala Dusun dan kemudian melaporkan ke Lembaga Adat. Lembaga adat yang mengumpulkan anggota lembaga adat seperti tuo tengganai, ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai. Lembaga adat menjatuhkan sanksi dan Kepala Desa melaksanakan putusan adat.
Terhadap sanksi adat, Desa Pemayungan memberikan sanksi cukup berat terhadap pohon sialang dengan istilah “membuka pebalaian” yaitu kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp 30 juta.
Dari pendekatan ini, gerakan melawan “perubahan iklim (climate change) dengan menawarkan paradigma yaitu “keadilan iklim (climate justite). Climate justite merupakan bentuk sikap yang mengatur kepada manusia di bumi satu harus saling berbagi untuk menjaga bumi.
Sumber : https://www.facebook.com/musri.nauli/posts/10206809221408860?notif_t=like_tagged¬if_id=1466100603481726