Ironi Hukum di Jambi

Ketika Membersihkan Lahan Berujung Penjara

Jambi, 27 Januari 2025 – pada hari senin Putusan Banding perkara Sdri Dewita Br Silalahi telah diterima dengan hasil putusan yang cukup mengecewakan dimana dalam putusan tersebut menyatakan bahwa Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri tebo Nomor 136/Pid.Sus-LH/2024/PN Mrt tanggal 17 Desember 2024 yang berarti Pengadilan Tinggi Jambi menyatakan bahwa putusan Pengadilan Negeri Tebo sudah dianggap benar dan adil.

Dewita di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (jPU) dengan dua opsi pasal yang berat: pertama, pasal 78 ayat (4) Jo pasal 50 ayat (2) huruf B, atau kedua, pasal 78 ayat (3) Jo pasal 50 ayat (2) huruf A dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kedua pasal ini yang telah diubah oleh Undang-Undang Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang cipta Kerja.

Dewita Br Silalahi, seorang petani kecil dari Desa Pemayungan, ditangkap oleh tim gabungan yang terdiri dari Forkopimda, Kepolisian, TNI dan PT.Alam Bukit tigapuluh (PT.ABT) atas dugaan perambahan hutan dan pembakaran lahan. Pada saat penangkapan, Dewita hanya sedang membersihkan lahan dibelakang rumahnya menggunakan parang. Tidak ditemukan adanya api bahkan asap dilokasi tersebut. Namun demikian, Dewita tetap ditahan dan dibawa untuk pemeriksaan lebih lanjut sampai dengan proses peradilan di Pengadilan berlanjut.

WALHI Jambi melihat bahwa Proses Hukum yang dijalani oleh Sdri Dewita Br Silalahi merupakan bentuk ketidakadilan bagi masyarakat kecil, dikarenakan dakwaan yang dituntut ialah terkait pembakaran yang mana pada saat itu terjadi 10 titik kebakaran yang terjadi di wilayah Izin Konsesi PT.ABT sedangkan saat penangkapan tidak ditemukan satu titik api bahkan asap.

Pengerjaan yang dilakukan oleh Dewita untuk mengolah lahan merupakan Kearifan lokal warga Desa Pemayungan yang mana seharusnya kearifan lokal ini diakui dan dihormati keberadaannya oleh negara, seperti yang tercantum dalam beberapa undang-undang yang menyinggung terkait kearifan lokal yaitu: Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

JPU juga mendakwa terkait bertempat tinggal didalam Kawasan Hutan, menurut Saksi Ahli  Daru Adianto S.H M.T. dalam persidangan Dewita Br Silalahi mengatakan bahwa bentuk sebuah kebijakan hukum yang pernah dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015 melalui SURAT EDARAN Nomor:SE.1/Menlhk-II/2015 tentang Penanganan Kasus-kasus Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam surat edaran ini jelas kasus-kasus dalam penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dan kehutanan terutama yang menyangkut  klaim-klaim, tata prilaku masyarkat setempat dan masyarakat adat harus menghindari tindakan represif dan harus mengedepankan dialog dengan memperhatikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.

dalam hal ini WALHI Jambi mendapatkan informasi dan juga data terkait Desa Pemayungan dimana seluas 12.792 Ha Administrasi Desa Pemayungan masuk dalam izin konsesi PT.ABT dan 31.384 Ha masuk dalam Kawasan Hutan yang mana meliputi pemukiman, perkebunan serta prasarana sosial. Yang mana menandakan bahwa Pemerintah  tidak dengan serius memperhatikan hak-hak masyarakat dengan adanya wilayah izin yang dikeluarkan didalam wilayah Administrasi Desa.

Abdullah, Direktur Eksekutif WALHI mengatakan bahwa ketidakadilan terhadap masyarakat kecil harus dihentikan, serta para Penegak hukum harus mengingat salah satu asas hukum Equality before the law bahwa semua orang sama dimata hukum yang berarti kesetaraan dan keadilan serta masyarakat yang berada di posisi lemah dan rentan harus diberikan perlindungan dari diskiriminasi dan juga melindungi Hak Asasi Manusia, WALHI Jambi akan terus bersama dengan masyarakat untuk memperjuangkan keadilan lingkungan hidup serta hak-hak masyarakat, Sekalipun langit akan runtuh, meskipun dunia akan musnah, keadilan harus tetap ditegakkan.

Dalam hal ini WALHI Jambi menilai bahwa telah banyak Peraturan yang mengatur tentang hak-hak masyarakat dalam Kawasan Hutan serta kearifan lokal yang telah diakui dan dihormati keberadaannya sebagai hukum tidak tertulis, namun sangat disayangkan bahwa sampai saat ini masyarakat kecil tidak mendapatkan haknya sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan hidup, termasuk hak masyarakat dalam Kawasan hutan. Dalam pasal 4 menyatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk hidup dan mengembangkan diri dalam lingkungan yang seimbang dan berkelanjutan.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 4 ayat 3 menjelaskan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat dan hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakuti keberadaannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, pasal 203, peraturan ini untuk menjaga hutan, Kawasan hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung, konservasi dan produksi tercapai secara optimal dan lestari serta tidak melupakan kesejahteraan masyarakat.

Kamu Harus Baca Juga ini :

Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang

Siaran Pers Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang Jambi- Problematika industri pertambangan Batubara dan proses pengangkutannya masih menjadi permasalahan serius yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Pasca dilantiknya Gubernur...

Read More