Geram dan Bersuara Melalui Media Sosial

Kegeraman warga yang terdampak asap langsung ataupun mereka yang berempati dan berusaha membela merebak di media sosial, seperti Twitter, Instagram, Facebook, dan Path. Tanda pagar #MelawanAsap dan #SaveRiau menjadi pengumpul kegeraman warga di media sosial atas asap yang tak kunjung tertangani. Tanda pagar ini bertengger sebagai salah satu trending topic.
Kegeraman itu mewujud salah satunya lewat beredarnya foto bocah laki-laki membentangkan selembar tengah kertas buku tulis bertuliskan, “PAK PRESIDEN KALAU TAK BISA MATIKAN ASAP, KIRIMKAN KAMI UANG UNTUK KE DOKTER #SAVERIAU”.    Bocah itu berdiri di tengah jalan tanah kering dengan latar belakang kabut asap pekat.


Kepada netizen di wilayah lain, mereka yang terdampak asap langsung di sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan mengirim foto kondisi daerah mereka terkini dengan seruan agar diperhatikan. Ada kekecewaan dan perasaan tidak berdaya di tengah kepungan asap yang di beberapa daerah, seperti di Riau dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah, sudah masuk kategori berbahaya.
Kegelisahan orangtua
Di tengah pekatnya kabut asap sepanjang hari Selasa (6/10), sekitar 64.000 siswa sekolah dasar di Kota Jambi tetap bersekolah. Keputusan mendadak itu dikeluarkan Dinas Pendidikan Kota Jambi dan Provinsi Jambi, Senin malam. Keputusan harus bersekolah pada Selasa pagi salah satunya karena sudah terlalu banyak libur akibat asap. Pengumuman itu meresahkan orangtua karena kualitas udara terdeteksi berada pada level berbahaya.
“Apa pemerintah enggak peduli? Seharusnya mereka mengerti betapa berbahayanya dampak asap bagi anak-anak jika dibiarkan berkeliaran di luar,” ujar Rahayu Ningsih (38), warga Mayang, Kota Jambi.
Pagi kemarin, Rahayu terpaksa mengantar putrinya bersekolah dengan perasaan waswas. Jarak pandang di bawah 1.000 meter, dengan kualitas udara yang terus memburuk. Indeks standar pencemar udara (ISPU) berada pada angka di atas 700 sejak pukul 04.00 hingga pukul 09.30. Angka itu berarti levelnya berbahaya. Hingga sore, nilai ISPU berada di kisaran 300-650.
Menurut Rahayu, selama kabut asap masih pekat, semua siswa seharusnya diliburkan agar para orangtua berkesempatan mengungsikan anak-anak ke luar Jambi. “Kami tidak tahan lagi melihat anak-anak dalam kondisi seperti ini.”
Mertua Rahayu yang tinggal di Jakarta nekat menempuh perjalanan darat, karena seluruh aktivitas penerbangan ke Jambi lumpuh, untuk menjemput keempat cucunya. Sampai di Jambi anak-anak tidak dapat dievakuasi. Pihak sekolah mengumumkan masuk karena akan ada ujian tengah semester selama pekan ini. Akhirnya upaya yang memakan energi, pikiran, dan biaya itu gagal.
Menurut Wali Kota Jambi Syarif Fasha, pihaknya tidak bisa membatalkan keputusan itu. Sudah terlalu banyak jam belajar siswa yang hilang. Tidak mungkin lagi menambah libur karena dikhawatirkan dampak negatifnya lebih besar bagi para siswa.
Pihaknya tengah mencari solusi untuk mengatasi masalah kekurangan jam belajar siswa. Ia mengusulkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan untuk memberikan kelonggaran bagi daerah yang terdampak asap untuk memiliki diskresi mengenai syarat kenaikan kelas dan kelulusan Dengan demikian, kelulusan siswa tidak dipatok oleh hasil ujian akhirnya.
Kondisi ini membuat geram banyak pihak, termasuk Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Musri Nauli. Menurut Musri, kesabaran masyarakat sudah jauh diuji tanpa hasil. Sudah dua bulan lebih asap menyelimuti daerah ini dan menimbulkan kerugian besar di berbagai sektor.
Masyarakat geram akan kebakaran lahan yang mengakibatkan bencana kemanusiaan. “Kami akan menggugat 15 perusahaan pembakar lahan,” kata Musri. Pada saat yang sama, solidaritas masyarakat menguat di tengah kekecewaan akan minimnya perhatian pemerintah. Sejumlah kampus di Jambi membuka posko pengaduan dan posko pelayanan medis bagi para korban asap.
Pauzan Fitra dari Koalisi Jambi Melawan Asap mengatakan, posko pengaduan dan layanan medis bagi korban asap telah dibuka sejak Senin lalu di Universitas Batanghari. “Siapa saja dapat mengadukan kerugian yang mereka alami akibat kabut asap,” ujarnya.
Tidak itu saja, sekelompok warga juga siap melakukan gugatan kelompok (class action) kepada 15 perusahaan di Jambi yang diindikasi melakukan praktik pembakaran lahan atau lalai membiarkan kebakaran terjadi di arealnya. Akibatnya, kerugian ditanggung oleh jutaan warga. “Kami sedang menyiapkan class action,” ujar Musri lagi.
Menyiapkan gerakan
Sinar matahari kembali gagal menembus Palangkaraya. Embun pagi bercampur asap dari kebakaran lahan gambut dan hutan menyelimuti sudut-sudut kota. Sudah dua bulan udara tidak sehat dan berbahaya dihirup seluruh warga. Penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) meningkat. Penerbangan terganggu dan sejak 9 September sekolah diliburkan.
“Aku jengkel sama asap. Kapan asap berakhir…? Aku ingin sekolah,” kata Yola Arnanda Lenzun (16), siswi kelas XII-IPS SMAN 1 Palangkaraya, yang ditemui di acara World Wide Insta Meet (WWIM) 12 di Bundaran Besar, Palangkaraya, Minggu (4/10) pagi.
Yola sudah jenuh dengan libur panjang akibat kabut asap pekat. Ia khawatir menghadapi ujian nasional tahun depan. “Di rumah lebih banyak makan dan tidur meski sudah ada pekerjaan rumah dari sekolah,” ujarnya.
Hal yang sama dirasakan rekan-rekan Yola, yakni Anisa Fitri (17), Meida (17), dan Aliza (17). Demikian juga dengan Desembero (17), siswa kelas XII Elektro di SMKN 1 Palangkaraya. Anak-anak muda itu berkumpul dalam pertemuan sesama pengguna akun Instagram se-Kalimantan Tengah. Acara yang bertema “Today I Meet Who I Follow” berkumpul karena mengusung subtema #Kaltengmelawanasap.
“Acara ini pertama-tama sebagai bentuk silaturahim pengguna Instagram dan juga menyuarakan keprihatinan pada kabut asap. Asap ini bukan bencana, melainkan sesuatu yang disengaja,” kata Fajar Patompo (26), pendiri WWIM12.
Fajar berharap, dengan adanya kampanye yang masif di media sosial dengan tema #Kaltengmelawanasap, pemerintah menjadi lebih peduli dan serius menanggulangi kabut asap yang terus terjadi setiap tahun.
Tri Omega (22), pengguna akun Instagram, juga menuturkan, seruan ini adalah upaya anak-anak muda di Kalimantan Tengah yang menjadi korban kabut asap hampir lebih dari dua bulan. “Kami hanya anak-anak muda biasa. Kami tidak bisa turun ke jalan dan demo protes ke sana-kemari. Sekarang ini yang kami butuhkan hanya udara bersih, bukan masker,” ungkapnya.
Dalam dua pekan terakhir, jumlah penderita ISPA di Kalimantan dan Sumatera yang terpapar kabut asap terus meningkat. Segala daya dan upaya yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat menguap ditelan asap dan ketidakseriusan berbagai pihak mengatasi bencana. (ITA/DKA/INU/ESA)

Kamu Harus Baca Juga ini :

Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang

Siaran Pers Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang Jambi- Problematika industri pertambangan Batubara dan proses pengangkutannya masih menjadi permasalahan serius yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Pasca dilantiknya Gubernur...

Read More