Medan, 12 November 2013. Merasakan langsung persoalan lingkungan dan konflik yang berlarut, masyarakat korban perkebunan kelapa sawit dan pemerhati lingkungan dari beberapa Provinsi dan Nasional menggelar aksi bersama di lokasi pertemuan Forum Internasional RSPO di Medan Sumatera Utara.
Seperti halnya Isnadi Esman yang ditemui ditengah aksi demonstrasi Sekjend Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGJ) mengungkapkan “dalam siaran pers bahwa Provinsi Riau yang memiliki luas Gambut 4,04 juta hektar saat ini 60 %,telah mengalami kerusakan, akibat perkebunan skala besar seperti Perkebunan sawit, dengan melakukan pembukaan wilayah besar-besaran menggunakan system kanalisasi memicu terjadinya subsidence atau penurunan permukaan gambut di provinsi pemilik 56% hutan gambut Sumatra ini, akibatnya abrasi setiap tahun bisa sampai 10 meter mengurangi daratan. Penghancuran lahan gambut juga juga menimbulkan persoalan serius seperti kebakaran hutan setiap tahun”.
“” Dampak kebakaran hutan dirasakan langsung masyarakat Riau. rata-rata sebanyak 8 ribu orang setiap tahunnya menderita ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dengan 70 persen di antaranya adalah anak-anak berumur di bawah satu tahun. Ini melengkapi penderitaan rakyat di Riau yang telah menjadi korban konflik dan perampasan Lahan. “ sambung Isnadi.
Lebih memprihatinkan lagi ungkapnya bahwa “ketika kebakaran itu justru ditemukan pada konsesi Perusahaan- perusahaan anggota RSPO, seperti ditemukannya 74 unit titik api di area konsesi PT Jatim Jaya Perkasa Group Wilmar , selama periode kebakaran hutan 1 Juni 2013 hingga 26 Juni 2013. Selain itu PT. Jatim Jaya Perkasa Juga bermasalah dengan masyarakat disekitar perusahaan tersebut berada, salah satu permasalahanya adalah tidak terealisasinya Kebun Plasma yang dijanjikan ke masyarakat. Ditemukan juga kebakaran lahan di area PT Duta Palma Group (Exs Anggota RSPO), di Inderagiri Hulu, termasuk PT Bertuah Aneka Yasa di Kuala Cenaku.“Persoalan ini tidak akan terjadi jika Pemerintah harus membuat kebijakan pengolaan gambut yang adil, dan persuahaan harus menerapkan FPIC, Pungkas Isnadi “”
Senada dengan Isnadi, Dwi Nanto dari Jaringan Masyarakat Gambut Jambi (JMGJ) mengungkapkan bahwa “hampir 70% dari 716.838 hektar Gambut Jambi telah dikonversi menjadi kawasan industry skala besar seperti perkebunan sawit, akibatnya 36 Desa telah mengalami ; kehilangan akses terhadap pengelolaan hutan, degradasi Adat/Budaya kemiskinkan serius akibat hilangnya berbagai sumber mata pencarian”. “Ini terjadi akibat prilaku perusahaan yang melakukan penggusuran lahan masyarakat dengan paksaan , melanggar ketentuan yang diatur pemerintah, Manipulasi pola kemitraan, tidak transparan, tidak menghormati Adat dan Budaya masyarakat setempat.” Sambung Dwi .
Pak Nurman Suku Anak Dalam dari Dusun Pinang Tinggi, yang ikut dalam aksi tersebut juga mengungkap “Selain di Riau, Komitmen Wilmar untuk memenuhi standar RSPO juga dilanggar di Provinsi Jambi, dimana Suku Anak Dalam Batin Sembilan selama 4 tahun dipermainkan dalam perjanjian penyelesaian konflik, kesediaan dan komitmen mereka ketika difasilitasi oleh CAO-IFC dalam mencari penyelesaian hingga kini tidak dipenuhi. Wilmar justru melepaskan sahamnya kepada pihak yang lain, disaat proses mediasi yang difasilitasi oleh Joint Team Mediation perpaduan antara pemerintah propinsi Jambi bersama dengan CAO-IFC sedang berlangsung dan mendekati kesepakatan penyelesaian”, “Forum RSPO untuk berkomitmen penuh terhadap keberlanjutan social, ekonomi dan lingkungan, dengan segera; Menonaktifkan keanggotaan Wilmar, Menunda pemberian sertifikat RSPO bagi anak-anak perusahaan Wilmar Group, dan mencabut sertifikat RSPO yang telah dikeluarkan oleh RSPO. Selain itu RSPO juga harus Melakukan revisi-revisi terhadap standar RSPO”, Pungkas Pak Nurman.
//selesai,,,,,,,,,,,,,,,,,
# Hentikan eksploitasi dan perusakan Hutan Tele yang mengancam ekosistem danau toba