Pada hari senin tanggal 16 Februari 2015 telah dilangsungkan diskusi tambang di Walhi Jambi. Diskusi dilatarbelakangi dengan kondisi memprihatinkan dengan derajat lingkungan hidup yang semakin menurun. Sementara pembukaan kawasan hulu Batangasai diberikan kepada perusahaan-perusahaan besar. Penghancuran kawasan hulu Sungai Batanghari melengkapi penguasaan tambang di Jambi.
Di satu sisi, kekayaan di sector tambang menimbulkan masalah lingkungna hidup. Jalan hancur. Permukaan tanah tercemar yang kemudian mengaliri sungai-sungai di hulu Batanghari. Korban berjatuhan.
Di sisi lain, sektor pertambangan 50 % areal tambang di Jambi belum tahap clean and clear. Belum lagi persoalan tambang di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi.
Didalam diskusi yang dihadiri berbagai kalangan termasuk Polda Jambi kemudian ditemukan berbagai persoalan. Diantaranya yang disampaikan oleh Edo Rahman (Manager Kampanye Walhi Nasional) membicarakan pertambangan harus dilihat dari pra tambang, proses tambang dan paska tambang. Masing-masing tahap menimbulkan persoalan. Di pra tambang persoalan bermula dari penetapan wilayah tambang yang “tidak melibatkan partisipasi masyarakat”, RTRW dan kecendrungan yang memandang wilayah sumatera sebagai “lumbung energi”. Di proses tambang terjadi persoalan dan konflik sosial. Misalnya limbah, prostitusi, persoalan perempuan, anak di tambang dan persoalan lain seperti konflik antara masyarakat dengan tambang. Sedangkan di proses pasca tambang persoalan yang terjadi adalah reklamasi, pencemaran dan limbah.
Paparan ini kemudian diamini oleh Ilham dari Warsi yang menyebutkan “proses penetapan wilayah tambang harus melibatkan masyakarat” karena merupakan putusan MK tentang UU Minerba. Namun selain membicarakan tambang di daerah hulu, persoalan tambang di daerah hilir lebih banyak kepada persoalan migas. Misalnya di Petrochina. Ilham bingung dengan sikap Pemerintah Kabupaten Tanjabtim dan Tanjabbar. Sebelumnya ngotot mempersoalkan penutupan sumur-sumur petrochina. Namun kemudian berita hilang.
Sedangkan Baya dari Setara menyebutkan, didalam melakuan penilaian terhadap persoalan tambang juga harus memperhatikan terhadap “cost” kerusakan tambang dibandingkan dengan manfaat yang didapatkan masyarakat. Kampanye ini harus terus menerus disampaikan agar Pemerintah lebih memperhatikan tambang daripada sekedar ekspoitasi tambang.
Dari sudut pandang lain, Gusdi warman menyebutkan persoalan tambang di Perentak daerah berbatasan dengan kerinci. Persoalan di sana sudah rumit. Selain berkaitan dengan Pilkada, daya rusak tambang juga banyak melibatkan berbagai kalangan.
Edi dari SSS-Pundi menyebutkan persoalan tambang di hulu adalah berkaitan dengan PT. Antam. Ini sungguh berbahaya bagi kehidupan masyarakat.
Sedangkan Riko dari Walestra juga menyoroti persoalan tambang yang menimbulkan dilematis terutama di daerah karst yang harus dilindungi. Hal yang sama juga disampaikan oleh Sari dari LBH Lingkungan yang menyoroti tentang reklamasi pasca tambang.
Dari diskusi ini kemudian perlu disepakati terhadap persoalan tambang.
1. Adanya tumpang izin perizinan baik izin dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
2. Tidak dilaksanakan kewajiban dari perusahaan baik amdal, dana reklamasi maupun keuangan
3. mengumpulkan data-data konflik yang berkaitan dengan tamban
4. Persoalan hak tanah adat dan sosial
5. Melakukan kegiatan identifikasi tataruang yang berkaitan dengan tambang
6. melakukan evaluasi terhadap UU Minerba
7. Membantu pemantauan proses korsup KPK.
8. Mempersatukan issu tambang terutama Sungai Batanghari yang tercemar merkuri.
9. Sepakat diadakan pertemuan secara rutin untuk mendiskusikan mengenai pertambangan di Jambi