A.PENDAHULUAN
1] ARAH RPJMD 2016-2021 PERDA NO 7 TAHUN 2016
Slogan “Sepucuk jambi Sembilan lurah” pada lambang Provinsi Jambi memiliki makna yang
mendalam bagi masyarakat Jambi. Hal itu kurang lebih bermakna satu kesatuan kebangsaan, satu kesatuan rakyat dan wilayah Jambi dalam bingkai Negara kesatuan Republik Indonesia. Ini juga melambangkan kebesaran dari sepucuk Jambi Sembilan Lurah dari sialang lantak besi sampai durian batakuk Rajo dan Tanjung Jabung.
Jika kita memeriksa dokumen RTRWP Jambi 2013-2033, secara administrasi Provinsi Jambi memiliki luas wilayah 53.435,92 Km2, dengan memiliki 9 [Sembilan] Kabupaten dan 2[dua] Kota yang tersebar. Didalam dokumen tersebut juga dituliskan, bahwa secara luasan daratannya, Provinsi Jambi memiliki luas mencapai 5,1 Juta hektar.
Provinsi Jambi melalui agenda “Jambi Tuntas” sebagai judul besar dalam pelaksanaan visi dan misinya, menargetkan pertumbuhan ekonomi 6,65%. Dengan memeriksa dokumen PERDA No 7 Tahun 2016 tentang RPJMD Provinsi Jambi 2016-2021 yang kini telah mengalami perubahan dan sebagai satu dokumen penerjemah Jambi Tuntas, pertumbuhan yang ditargetkan tersebut masih bersumber pada sektor penopang utamanya, yaitu pertambangan dan industri pengolahan juga perdagangan.
Dalam pemaparan yang disampaiakan oleh Kepala BAPPEDA Provinsi Jambi pada kegiatan rapat koordinasi dan evaluasi RKPD Tahun 2018 lalu, secara materi terlihat tidak berbeda jauh dengan kegiatan yang sama pada tahun sebelumnya, 2016 dan 2017, kebijakan pembangunan Provinsi Jambi di tahun 2018 masih tertumpu pada 3 [tiga] isu strategis utama yang dimainkan. Tiga Isu strategis tersebut kemudian terbungkus dalam satu isu besar, yaitu isu daya saing. Isu besar daya saing, kemudian diterjemahkan dalam beberapa isu strategis yang dimunculkan. Diantaranya adalah, daya saing Infrastruktur, daya saing ekonomi dan daya saing Sumber Daya Manusia.
2] ARAH RPJMD 2016-2021 PERDA NO 3 TAHUN 2018 [PERUBAHAN]
Didalam dokumen RPJMD Provinsi 2016-2021 [perubahan], pembangunan masih diarahkan pada sinergisitas kebijakan nasional. Dengan satu tema besarnya adalah, Sumatra sebagai pintu gerbang perdagangan internasional, dengan memprioritaskan permasalahan pembangunan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Dari penyampaian sosialisasi PERDA Provinsi Jambi No 3 Tahun 2018 tentang perubahan RPJMD 2016-2021yang disampaikan oleh BAPPEDA Provinsi Jambi, bahwa Provinsi Jambi mengalami pertumbuhan ekonomi yang melanda dalam dua tahun terakhir yang bisa dicapai.
Dalam pemaparan yang disampaikan tersebut, tercatat dalam tahun 2017 lalu saja, pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi hanya bisa mencapai di angka 4,64 %. Dan dilanjutkan pada tahun 2018 iniProvinsi Jambi mengalami kenaikan sedikit pertumbuhan ekonominya, yakni hanya mencapai 5 %.
Faktor tersebut disinyalir menjadi salah satu penyebab utama dari perubahan RPJMD Provinsi Jambi 2016-2021, terkait pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi yang semula ditargetkan 6,65% diturunkan menjadi 5,6 % ditahun 2019.
Sementara itu, kepala perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jambi dalam kesempatannya dipertemuan tahunan Bank Indonesia, Selasa [18/12/2018] di Swiss Belhotel Jambi, menyatakan bahwa. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi tahun 2019 diperkirakan mencapai 5,1%.
Pertumbuhan tersebut dikatakan akan terjadi ketika sumber-sumber pertambangan dan penggalian sejalan dengan outlook positif [penguatan permintaan batu bara dan minyak bumi terus menaik].
B. SITUASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI PROVINSI JAMBI 2018
1] IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Jika dicermati sektor-sektor yang menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi, dari Pemerintah periode sebelumnya sampai saat ini, masih condong mengandalkan pada aktifitas eksploitasi sumber daya alam sebagai basis dalam rangka penyediaan bahan baku.
Sehingga skenario kebijakan dalam perencanaan pembangunan yang disusun, juga tidak jauh berbeda, tetap bersandar pada sumber-sumber alam yang akan tereksploitasi, terutama sumber-sumber pertambangan, industri perkebunan monokultur dan HTI.
1.1 Kebijakan Pembangunan Industri Perkebunan Kelapa Sawit, HTI dan Pertambangan
Agenda kebijakan pembangunan Pemerintah Provinsi Jambi dalam skema memperluas pembangunan industri baik perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan HTI, bukan hanya menjadi isapan jempol belaka. Sebagai contoh misalnya, didalam dokumen RTRWP Jambi 2013-2033 Pemerintah Provinsi Jambi telah mengalokasikan peruntukan untuk perkebunan kelapa sawit seluas 1.8 Juta hektar.
Dalam konsolidasi data yang dilakukan oleh WALHI Jambi dengan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, terungkap bahwa pada tahun 2018 saja, sudah ada 1,368.000 Hektar izin yang dikeluarkan kepada 186 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan rincian 1,368.000 Ha Izin Lokasi, 248.000 Ha HGU, 962.000 Ha IUP yang ada di Provinsi Jambi.
Pengusahaan pertambangan mineral dan batubara di Provinsi Jambi berkembang dengan pesat, hal ini di tandai dengan banyaknya Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral dan Batubara yang telah di terbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Sebagian besar Pengusahaan pertambangan yang ada merupakan Pertambangan Batubara, sedangkan sebagian lagi mengusahakan Bijih Besi dan Emas.
Kondisi di Tahun 2017 Kegiatan Usaha Pertambangan di Provinsi Jambi sebanyak 80 dalam tahap Eksplorasi dan 116 dalam tahap Operasi Produksi. Selain Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Provinsi Jambi juga terdapat 3 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Terkait dengan maraknya aktifitas pertambangan tanpa izin [PETI], informasi jumlah dan luasan aktifitas PETI masih belum dipastikan jumlahnya. Hal tersebut dikarenakan selain spotnya banyak yang kecil-kecil, juga aktifitas PETI yang selalu berpindah-pindah.
Namun ditahun 2018, WALHI Jambi memastikan ada empat kabupaten wilayah kosentrasi aktifitas PETI yang berlangsung, empat kabupaten tersebut adalah Kabupaten Merangin, Sarolangun, Bungo dan Tebo.
Kabupaten Merangin seharusnya menjadi perhatian serius terkait PETI, pasalnya ada 5 kawasan yang jadi sorotan, diantaranya adalah Kecamatan Pangkalan Jambu 655 hekter luas area, Sungai Manau 260 Ha, Renah Pembarap 2 Ha, Tabir Lintas 125 Ha dan Tabir Barat 185 Ha. Luas area belum termasuk aktivitas peti di badan sungai.
Selain industri perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, penguasaan wilayah Jambi oleh Hutan Tanaman Industri [HTI], juga cukup mencengangkan. Informasi terakhir yang didapat dari pihak dinas Kehutanan Provinsi Jambi, bahwa sampai tahun 2018 luas Hutan Tanaman Industri yang berada di Provinsi Jambi sudah mencapai 890.265 hektar, atau lebih dari seperlimanya luas wilayah kawasan hutan yang ada di Jambi.
1.2 Perlindungan dan Pengelolaan Gambut
Merasa tidak ingin menjadi pihak yang lamban dalam merespon persoalan gambut, Pemerintah pusat membentuk Badan Restorasi Gambut [BRG] yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 yang ditanda tangani Presiden Jokowi pada 6 Januari 2016, dengan tujuan utama untuk mengatasi dan mencegah kebakaran di lahan gambut serta melakukan pemulihan lahan gambut yang terbakar pada tahun 2015 dan sebelumnya.
Agenda pencegahan dan pemulihan wilayah gambut yang diimplementasikan oleh Badan Restorasi Gambut di Provinsi Jambi, kini menjadi satu perencanaan khusus dukungan dalam konteks pengurangan resiko bencana yang diadopsi dalam dokumen RPJMD Provinsi Jambi 2016-2021.[1]
[1] Dokumen RPJMD 2016-2021 Perda No 3 Tahun 2018 [Perubahan], dengan mendukung agenda restorasi lahan gambut nasional sampai pada tahun 2020 dengan skema pemberdayaan masyarakat.
1.3 Perhutanan sosial dan TORA
Di Provinsi Jambi, respon cepat terkait Perhutanan Sosial ditindaklanjuti dengan pembentukan POKJA sebagai satu tim khusus untuk memaksimalkan capaian Perhutanan Sosial, yang secara administrasi dikeluarkan SK oleh Gubernur dan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi sebagai penanggung jawabnya.
Untuk Provinsi Jambi sendiri, dari 12,7 Juta hektar pencanangan Perhutanan Sosial, ditargetkan mencapai 352.756 hektar [berdasarkan pendekatan peta PIAPS], dan melalui pendekatan peta arahan kawasan hutan tahun 2017, untuk TORA di Jambi KLHK menargetkan seluas 12.361 hektar.
1.3 Konflik Agraria
Kebijakan Pemerintah Provinsi Jambi terkait dengan penyelesaian konflik agraria, belum mampu menemukan kerangka yang baik, yang tentu saja bisa berdampak bukan hanya mengurangi tapi yang terpenting adalah menyelesaikan konflik agraria yang terjadi.
Dalam konteks penanganannya, sampai saat ini Pemerintah Provinsi Jambi masih hanya
menggunakan pendektan Permendagri No. 42 Tahun 2015 Pelaksanaan Koordinasi Penanganan Konflik Sosial. Dan secara teknis, kebijakan ini diimplementasikan dengan pembentukan tim terpadu dibeberapa kabupaten dan kota di wilayah Jambi yang sedang melakukan proses penanganan konflik agraria.
2] POTRET FAKTUAL OLEH WALHI JAMBI TERHADAP IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI JAMBI
2.1 Konflik Agraria
WALHI Jambi mencatat, ditahun 2018 didapatkan jumlah konflik agraria mencapai 156 konflik. Dengan rincian tambang mencapai 95 konflik. HTI/hutan sebanyak 57 konflik dan monokultur 28 konflik.
Dari jumlah konflik agraria di Provinsi Jambi secara keseluruhan, ada 21 konflik yang menjadi prioritas penyelesaian yang didorong oleh WALHI Jambi. Dari 20 konflik tersebut, berada di 20 Desa dengan rincian sebagai berikut.
Ada 14 konflik HTI yang berada di tiga kabupaten, 3 desa di Kabupaten Muaro Jambi, 1 desa Kabupaten Tebo dan 10 Desa di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Ada 4 konflik perkebunan kelapa sawit yang berada di 3 desa Kabupaten Muaro Jambi, 1 desa di Kabupaten Batang Hari dan 1 desa di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Dan ada 2 konflik UPHHK-RE yang berada di 2 desa Kabupaten Tebo.[2]
[2] Dokumen prioritas penyelesaian konflik diwilayah dampinag WALHI Jambi 2018
Melihat keterlibatan Pemerintah Provinsi Jambi dalam proses penyelesaian konflik agraria, WALHI Jambi memandang pemerintah terindikasi masih melindungi investasi industri. Sehingga proses yang muncul, hanya dalam konteks pemenuhan administrasi perundang – undangannya saja, yaitu memenuhi peraturan Permendagri No. 42 Tahun 2015 terkait dengan Pelaksanaan Koordinasi Penanganan Konflik Sosial.
2.2 Perhutanan sosial dan TORA
Dari data yang dihimpun oleh WALHI Jambi, Perhutanan Sosial yang ditargetkan di Provinsi Jambi seluas 352.756 hektar, baru terealisasi sampai di tahun 2018 seluas 54.710 hektar yang sudah dikeluarkan SK, dengan jumlah SK 324 dan menargetkan di tahun 2019 seluas 62.505 hektar.
Perlambatan tersebut ditenggarai oleh sikap pemerintah yang hanya mengacu wilayah Perhutanan Sosial harus berada di wilayah PIAPS. Sejatinya, dengan menggunakan skema Permen LHK No 83 Tahun 2016, paling sedikitnya akan mempermudah proses implementasi kebijakan yang dikeluarkan terkait dengan pengurangan wilayah izin di kawasan hutan pada kebijakan Permen LHK No 45 Tahun 2016.
Selain bisa menggunakan pendekatan Permen LHK untuk mempercepat skema Perhutanan Sosial di wilayah yang sudah dibebani izin, regulasi lainnya yang juga bisa ditempuh adalah, mendorong inisiatif pemerintah daerah dalam penyelesaian konflik di wilayah areal izin. Dalam hal ini, bisa menggunakan Permen LHK No 84 Tahun 2015 tentang “Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan”.
Terhadap agenda Perhutanan Sosial, WALHI Jambi bersama komponen, masih melakukan konsolidasi dan mendorong percepatannya. Sampai di akhir tahun 2018 ini, WALHI Jambi bersama komponen, baru berhasil mendorong implementasi Perhutanan sosial [Hutan Desa] mencapai 73.858,23 hektar, dengan rincian masih tahap potensi 15.149,1 hektar, usulan 39.480,99 hektar dan yang sudah mendapat SK 19.228, 14 hektar.[3]
[3] WALHI Jambi 2018
Pelambatan dari target Perhutanan Sosial di Jambi ditenggarai oleh beberapa faktor, diantaranya adalah :
- Adanya perlambatan yang dilakukan secara struktural dalam konteks hak kelola rakyat, karena POKJA yang dibentuk pemerintah hanya mendorong kemitraan
- Dalam kasus lain usulan hutan desa yang masuk dalam skema Perhutanan Sosial yang tidak memenuhi prasyarat, dilakukan penghentian dan tidak dimunculkan upaya untuk memperjuangkannya secara bersama.
- POKJA hanya terfokus pada PIAPS
- Tidak ada upaya mendorong resolusi konflik yang dilakukan oleh pemerintah di wilayah potensi Perhutanan Sosial yang berkonflik.
2.3 Perlindungan dan Pengelolaan Gambut
Agenda Badan Restorasi Gambut sampai ditahun 2018, masih terkosentrasi pada subjek dan objek wilayah kelola rakyat. Dengan agenda-agenda penguatan kapasitas masyarakat, pemberdayaan ekonomi dan sekat kanal.
Seperti contoh misalnya, agenda pembangunan sekat kanal yang berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Kecamatan Betara Desa Serdang dan Desa Seri Terap, dibangun di wilayah kelola rakyat.[4]
[4] Laporan Hasil Kerja Pantau Gambut Jambi 2018
Terkosentrasinya agenda kerja BRG di wilayah kelola rakyat, tidak berbanding lurus dengan situasi yang harus direspon cepat oleh BRG di wilayah gambut yang sudah dibebani konsesi, baik perkebunan kelapa sawit, HTI maupun pertambangan.
Berdasarkan sumber dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi per 5 September 2015, ada 46 perusahaan baik perkebunan kelapa sawit maupun Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mengalami kebakaran di lahan konsesinya dengan jumlah titik api mencapai 1700 dan luasan kebakaran mencapai 135.000 hektar.
Dalam analisis WALHI Jambi, luasan gambut yang tersebar di Provinsi Jambi mencapai 716. 838 hektar, berada di 133 desa telah dibebani izin mencapai 70%, baik oleh industri perkebunan kelapa sawit dan juga HTI.
Dari 133 Desa yang berada di wilayah gambut, ada 84 desa berada di wilayah konsesi industri, 36 Desa ada disekitaran izin industri perkebunan kelapa sawit dan ada 48 Desa yang berada di wilayah konsesi HTI.[5]
[5] WALHI Jambi 2016
C. GEOPOLITIK PROVINSI JAMBI DAN PLATFORM WALHI
1] GEOPOLITIK JAMBI
Wacana upaya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar lingkungan akan menjadi bagian dari upaya mitigasi, ternyata masih menjadi mimpi yang tak kunjung datang.
Faktor penentu dari penguasaan wilayah kelompok industri di Provinsi Jambi yang berdampak pada kerusakan lingkungan, disebabkan wilayah konsesi berada di wilayah bukan peruntukannya.
Wilayah-wilayah yang seharusnya dilindungi dan dilakukan pemulihan karena mengalami kebakaran, seperti wilayah hidrologi gambut sungai Batanghari-sungai kumpeh di Kabupaten Muaro Jambi, saat ini hampir secara keseluruhan tertutup izin perkebunan kelapa sawit.
Melihat dari arah dan implementasi pembangunan yang ada di Provinsi Jambi, terlihat jelas adanya kesamaan yang tidak berbeda jauh dengan isu strategis yang dibangun oleh Negara Indonesia dalam konsesus internasional [negeri yang di skemakan untuk menjadi wilayah penyedia bahan baku].
2] PLATFORM WALHI
Dalam platform WALHI, situasi seperti ini harus dihentikan, sistem dan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang berlandaskan pada sistem ekonomi kapitalisme dan rezim neo liberalisme harus diganti dengan sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan dan berkelanjutan, dengan berpegang pada prinsip pemenuhan hak asasi manusia dan demokratis. Memberikan jalan serta pengakuan bagi inisiatif-inisiatif rakyat dalam pengelolaan kekayaan alam, membangun narasi ekonomi dan pembangunan baru yang menempatkan rakyat sebagai subjek yang memiliki kekuatan untuk membangun kemandirian dan kedaulatan atas ruang hidup, kedaulatan ekonomi, kedaulatan dalam pengelolaan kekayaan alam.
D. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pengelolaan Sumber Daya Alam yang ada di Provinsi Jambi saat ini, masih dalam fase ketidakadilan. baik dalam konteks hak pengelolaan oleh rakyatnya maupun dalam konteks keberlanjutan lingkungannya. Ketimpangan penguasaan wilayah kelola yang saat ini masih didominasi penguasaannya oleh kelompok- kelompok industri berbanding lurus dengan laju kerusakan lingkungan sebagai efek sampingnya.
Munculnya konflik tanah, pelanggaran HAM, kerusakan di kawasan gambut maupun hutan dan bencana ekologis akibat ekspansi industri ekstraktif, merupakan bagian yang tidak terhindarkan. Kebijakan pengeluaran izin industri berbasis sumberdaya alam, tidak diimbangi dengan perangkat mitigasi dan penegakan hukum dalam proses pemulihan lingkungan yang harus dilakukan.
Situasi tersebut diperburuk dengan situasi perlambatan peningkatan ekonomi yang terjadi di Provinsi Jambi. Yang seharusnya mampu menuntun Pemerintah Provinsi Jambi terkait dengan arah pembangunan yang dilakukan, dari orientasi pembangunan industri penyedia bahan baku berbasis sumber daya alam, menjadi ekonomi kreatif yang berbasis pada kearifan lokal.
Melihat situasi gambaran diatas, rekomendasi yang bisa lakukan adalah, mendorong Pemerintah Jambi untuk mereorganisasi kembali arah kebijakan pembangunan Provinsi Jambi, yang saat ini masih menggunakan cara-cara mengeksploitasi alam dalam rangka menyediakan bahan baku, diarahkan kepada konsep ekonomi kerakyatan berbasis pada potensi local. [selesai]