Di penghujung tahun 2017, Pemerintah pusat memberikan statement resmi melalui Wakil Presiden RI Jusuf kala, yang dalam statement itu pemerintah memandang perlu untuk dilakukannya evaluasi terhadap persediaan beras dan penghitungan produksi dalam negeri.
Statemen tersebut kemudian dimaknai sebagai langkah persiapan untuk kembali memunculkan kebijakan impor beras yang sangat tidak menguntungkan baik bagi petani maupun harga diri bangsa.
Karena dari statemen tersebut muncul kalimat bersayap yang melogiskan keputusan impor akan diakukan, yang didasarkan apabila stok persediaan beras tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri.
“harga naik itu berarti stok kita mulai menipis, walaupun kita akan panen nanti pada bulan Januari-Februari, kita memang harus berhati-hati”[1]
Langkah lanjutan yang akan rasionalisasikan dalam kebijakan pengamanan pangan dalam negeri, akan dilakukan dalam bentuk perencanaan impor beras sebesar 500.000 ton atau 1 juta ton.
Dalam mensiasati ketidak cukupan beras dalam negeri, Pada 2017 Kementan menargetkan cetak sawah baru seluas 80.000 hektar. Adapun, pada tahun sebelumnya, dari target yang dicanangkan 134.000 hektar.
Di Provinsi Jambi sendiri, pada tahun 2016 cetak sawah yang ditargetkan semula pada luas angka 5000 ha yang akan dikerjakan pada tahun 2017, hanya mampu ditargetkan 3.500 ha oleh Provinsi Jambi dan 1.500 ha di kembalikan pada pusat (Kementan). Angka luasan 3.500 ha tersebut kemudian kembali mengecil menjadi 2.500 ha karena faktor keterbatasan anggaran pemerintah Provinsi Jambi.
Dari beberapa sumber yang didapat, program cetak sawah yang dikerjakan pada tahun 2017 seluas 1000 ha akan dibangun di Kabupaten Batanghari, gagal menyesuaikan targetnya hanya mampu direncanakan objeknya seluas 215 ha.
Lokasi objek tersebut berada di Desa Rantau puri seluas 50 hektare, Desa Bajubang Laut 25 Hektare, Desa Rantau Kapas Mudo 25 Hektare, Desa tanjung Marwo 35 Hektare, Desa Selat 50 hektare, dan Desa peninjauan 30 Hektare.[2]
Saat ini hanya 2 lokasi yang baru terealisasi kondisi fisiknya atau mulai pelaksanaan yakni di Desa Selat dan Bajubang laut seluas 1 hingga 2 ha.
Dari aspek kegagalan program cetak sawah di Provinsi Jambi, persoalan tentang krisis kedaulatan pangan masih belum teratasi, kondisinya justru semakin memburuk. Beberapa wilayah yang memiliki potensi mengembangkan swasembada pangan khususnya tanaman padi, situasinya justru tidak seperti yang diharapkan.
Menurunnya produktivitas mengelola padi, memaksa masyarakatnya untuk memilih membeli beras di kota-kota terdekat. Pilihan praktisnya adalah, beberapa kelas menengah di desa-desa memanfaatkan situasi ini dengan membeli sebanyak-banyaknya beras dikota dan menjualnya kembali di desa.
Pada situasi terburuknya, masyarakat dan petani di desa-desa, saat ini masih banyak yang menggantungkan kebutuhan berasnya dari skema subsidi melalui skema beras miskin yang dibagi-bagikan gratis dan murah.
Situasi dimana produksi padi petani tidak lagi bisa menutupi kebutuhan makan orang banyak dan juga kebutuhan makan untuk dirinya sendiri, merupakan situasi yang bukan secara alami tiba-tiba datang.
Faktor penentu yang disinyalir menjadi penyebab utamanya antara lain adalah, semakin masifnya laju konversi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan monokultur (sawit) dan disempurnakan situasinya dengan semakin seriusnya pemerintah dalam mendorong pembangun infrastruktur baik hulu maupun hilir disektor perkebunan monokultur.
Keseriusan pemerintah dalam mendorong pembangun infrastruktur baik hulu maupun hilir disektor perkebunan monokultur sawit, tidak berbanding lurus dengan keseriusannya mendorong infrastruktur untuk kebutuhan lahan pertanian yang berbasis pangan.
Keberpihakan pemerintah dalam mendorong perkebunan monokultur dan mengabaikan kepentingan produksi petani berbasis pangan baik dalam konteks penguatan tata produksi maupun pasarnya, juga semakin menyempitkan pilihan petani untuk memproduksi wilayah-wilayah pangannya.
Dampak langsungnya dialami di Desa Sogo Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi. puluhan hektar lahan sawah milik masyarakat Desa Sogo, saat ini tidak dapat dikelola. Hal tersebut dikarenakan akibat pembangunan tanggul yang tinggi oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Bukit Bintang Sawit, yang mengakibatkan lahan sawah yang dimiliki oleh masyarakat Desa Sogo kering.[3]
Selain di Desa Sogo, dampak dari lebih berpihaknya pemerintah terhadap pembangunan industri perkebunan monokultur ketimbang wilayah-wilayah pangan, terjadi di Desa Kembang Seri Kecamatan Maro Sebo Ulu Kabupaten Batanghari.
Di Desa Kembang Seri ada 153, 67 ha lahan cetak sawah yang dikelola secara mandiri, saat ini kondisinya dikuasai oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Adimulia Palmo Lestari dan sekarang pihak perusahaan sudah mulai land Clearing.[4]
Menyempitnya pilihan petani untuk berproduksi wilayah pangannya, di ikuti dengan semakin menurunnya jumlah petani. Dalam data sensus pertanian 2013, menunjukan rumah tangga pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta, yang berarti telah terjadi penurunan sebesar 5 juta rumah tangga pertanian, dibandingkan dengan hasil sensus pertanian tahun 2003.
Mimpi Mewariskan Lingkungan yang Lebih Baik
Secara topografi, wilayah administrasi Provinsi Jambi dibagi menjadi tiga zona.[5] Zona pertama berada diwilayah hulu yang terdiri dari Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Di zona berikutnya adalah, zona tengah, terdiri dari Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Batanghari. Lalu zona berikutnya adalah, zona hilir, ditempati oleh Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kota Jambi.
Dari ketiga zona tersebut, dapatlah memberikan gambaran kepada kita, bahwa secara tipologi, wilayah administrasi Provinsi Jambi memanjang dari dataran tinggi (Zona Hulu), kemudian menuju dataran sedang (Zona Tengah) kemudian turun dan bermuara pada dataran rendah (Zona Hilir).
Jika kita memeriksa dalam berbagai dokumen pembangunan di Provinsi Jambi, baik itu dokumen pembangun RPJMP maupun RTRWP, ada kekhususan terhadap perlakuan di zona masing –masing.
Kita akan mulai dari zona hulu, konsep pembangunan pemerintah Provinsi Jambi pada zona hulu berarahkan kepada konsep kawasan lindung, perlindungan kekayaan keanekaragaman hayati ekosistem, baik itu flora maupun faunanya. Turun kemudian menuju zona tengah, dalam beberapa dokumen pembangunannya, kita bisa temukan kebijakan dualisme. Di satu sisi zona tengah dikonsepkan kepada penyelamatan lingkungannya, namun disisi lain, kita bisa melihat ambisi Pemerintah Provinsi Jambi untuk membuka kran investasi berbasis industri sumberdaya alam di zona tengah.
Sedangkan di zona hilir sendiri, kita bisa mendapatkan konsep pembangunannya secara pasti. Zona hilir menjadi tulang punggung bagi upaya peningkatan pendapatan Daerah Provinsi Jambi, dengan skema kebijakan, melokalisir zona hilir menjadi satu kawasan padat industri baik itu industri perkebunan kelapa sawit maupun industri Hutan Tanaman Industri HTI.[6]
Konsep pembangunan baik di Zona Tengah maupun zona hilir yang diprioritaskan untuk aktivitas industri, merupakan satu kecelakaan fatal yang disengaja dalam proses penyusunan kebijakan oleh Pemerintah Provinsi Jambi.
Karena kebijakan memperuntukan satu wilayah untuk dijadikan industri, akan meminta syarat adanya satu skema rekayasa alam yang akan dilakukan oleh manusia. Penentu apakah Skema rekayasa alam yang akan dilakukan oleh manusia itu akan berdampak buruk pada ekosistem atau tidak, salah satu indikatornya adalah, kesiapan manusia dalam menciptakan dan menerapkan teknologi pengamannya.
Mutiara Dalam Lumpur Itu Bernama Gambut
Dalam pandangan masyarakat lokal, gambut dipandang sebagai lahan basah, yang memiliki kekhususan sendiri dalam memperlakukannya. Pandangan ini kemudian menjadi satu basis teori dan praktek masyarakat lokal dalam mengelola wilayah gambut.
Masyarakat mempercayai bahwa gambut akan menjadi teman sejati jika dalam praktek mengelolanya manusia mengikuti kehendak gambut, bukan justru sebaliknya, gambut yang mengikuti kehendak manusia.
Dan saat ini, praktek-praktek industri memaksakan kehendak agar gambut mengikuti selera manusia. Sehingga praktek eksploitasi wilayah gambut dengan cara merubah bentuk dari basah menjadi kering demi kepentingan industri, banyak menimbulkan bencana ekologi.
Di Provinsi Jambi, sebaran wilayah gambut terkosentrasi di 3 kabupaten, pertama Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, bahwa 3 kabupaten yang disebutkan berada di wilayah hilir yang dalam skema orientasi dan prakteknya menjadi wilayah kawasan pembangunan industri berbasis sumber daya alam seperti industri perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
Kebijakan wilayah gambut untuk dikosentrasikn sebagai salah satu wilayah padat industri berbasis sumber daya alam, berimplikasi pada perubahan bentuk gambut, yang sebelumnya basah menjadi kering.
Perubahan bentuk inilah yang kemudian menjadi sarat terjadinya kerusakan ekosistem gambut. Wilayah gambut yang pada status alaminya basah menjadi kering dan mudah terjadinya bencana ekologi, kebakaran dan sebagainya.
Selain perubahan bentuk gambut yang diakibatkan oleh aktivitas pembangunan industri, baik perkebunan sawit maupun HTI yang berdampak pada bencana ekologi, persoalan gambut juga tiba-tiba hadir diruang diskusi, seminar dan skema-skema proyek.
Banyak pihak yang tiba-tiba hadir dan mengaku sebagai pihak yang bisa menjadi penyelamat gambut, paling tidak menjadi pakar-pakar gambut yang menjadikannya mudah dikenal.
Merasa tidak ingin menjadi pihak yang lamban dalam mensikapi persoalan gambut, Pemerintah pusat dengan membentuk Badan Restorasi Gambut yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 yang diteken Jokowi pada 6 Januari 2016 dengan tujuan utama untuk mengatasi dan mencegah kebakaran di lahan gambut serta melakukan pemulihan lahan gambut yang terbakar pada tahun 2015 dan sebelumnya yakni sekitar 2 juta hektare dengan melakukan restorasi.
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi Badan Restorasi Gambut dalam melakukan pemulihan wilayah gambut, menghadapi beberapa kendala penting yang justru akan memperlambat atau bahkan meraih kegagalan dalam proses pemulihan diwilayah gambut.
Dalam perkembangan kerja BRG terhitung sampai akhir tahun 2017 ini, BRG sampai saat ini baru bisa mengeluarkan peta identifikasi wilayah gambut yang akan direstorasi di Provinsi Jambi.
Sedangkan target yang utama untuk melakukan pekerjaan pemulihan melalui kegiatan restorasi, masih belum bisa dilakukan. Hal tersebut karena, pertama BRG belum mampu menentukan wilayah prioritas restorasi, baik diwilayah gambut yang dibebani izin perusahaan maupun diluar izin perusahaan yang terbakar dan butuh dipulihkan.
Dalam kerja-kerja BRG sampai saat ini, kecenderungannya masih sebatas melakukan pemberdayaan masyarakat diwilayah identifikasi restorasi yang sudah diprioritaskan.
Dalam konteks menekan terulangnya kebakaran lahan gambut di tahun 2016 dan 2017, BRG juga cukup diuntungkan dengan kondisi iklim yang tidak begitu panas di tahun 2016-2017, yang mengakibatkan jumlah kebakaran gambut turun dibanding tahun 2015.
Namun dalam konteks pemulihan wilayah gambut yang telah terbakar dan sudah terdegredasi oleh aktivitas manusia, Badan Restorasi Gambut, cukup dikatakan tidak sesuai yang diharapkan.
Fakta-fakta
Dalam prakteknya, skema-skema rekayasa alam baik itu digunakan untuk kepentingan industri perkebunaan kelapa sawit maupun hutan tanaman industri HTI, tidak berbanding lurus dengan penerapan teknologi pengamannya. Sehingga dalam periode awal pembukaan industri sawit maupun HTI pada era tahun 1997-2000, banyak menyebabkan peristiwa-peristiwa kecelakaan yang berdampak pada bencana ekologi, seperti kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).[7]
Siklus Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Jambi
Periode Tahun
|
Kejadian KARHUTLA
|
1997 – 2000
|
4 Tahun 1 x Karhutla
|
2000 – 2006
|
2 Tahun 1 x Karhutla
|
2006 – 2010
|
1 Tahun 1 x Karhutla
|
Dalam catatan WALHI Jambi, peristiwa bencana ekologi kebakaran hutan dan lahan mengalami fase dan siklusnya. Kebakaran hutan dan lahan pada siklus pertama terhitung pada Tahun 1997-2000 dengan peristiwa kebakaran 4 (empat) Tahun 1 (Satu) kali. Kemudian di siklus kedua, pada Tahun 2000-2006 terjadi 2 (dua) Tahun 1 (satu) kali kebakaran dan meningkat pada siklus ke tiga pada Tahun 2006-2010 menjadi 1(satu) Tahun 1(satu) kali kebakaran.
Di era sebelum Tahun 2003 beberapa tempat diwilayah hilir Provinsi Jambi seperti Kabupaten Muaro Jambi, masyarakat masih berinteraksi dan bisa menggantungkan hidupnya pada wilayah-wilayah ekosistem alami baik didarat maupun di air.[8]
Dari sekian banyak tempat masyarakat yang masih bisa menyandarkan kebutuhan hidupnya diwilayah ekosistem alami baik darat maupun air, bisa kita temukan sejarahnya diwilayah Desa Seponjen Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi dan Desa Rukam Kecamatan Taman Rajo Kabupaten Muaro Jambi.
Masyarakat Desa Seponjen saat itu masih bisa menikmati kelimpahan hasil hutan dari masih ketersediaannya ekosistem darat seperti, Rotan, Jelutung, Kayu Punak, yang bisa digunakan untuk membangun rumah dan penghasil ekonomi.
Di Desa Rukam, dari masih ketersediaannya ekosistem alami air tempat mencari ikan seperti, Buluran muning laut, Lubuk tapa, Danau cempedak, Danau Gerang, Danau empang palang, Sematang tawing dan Buluran buang, masayarkat masih bisa menggantungakan kebutuhan pangannya dari beberapa ikan yang bisa diambil seperti, Ikan merah ‘botia’, Bujuk, Toman, Betook, Ruan, Tebekang,
Selincah dan Sepat.[9]
Ketersediaan baik dari ekosistem alami air maupun darat terhadap kebutuhan masyarakat di Desa Seponjen maupun di Desa Rukam, praktis terputus dengan hadirnya skema pembangunan industri Perkebunan Kelapa sawit berskala besar maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).
Kerusakan ekosistem sumberdaya alam dari hadirnya skema industri baik perkebunan kelapa sawit maupun Hutan Tanaman Industri, bukan hanya merugikan secara ekonomi pendapatan masyarakat, akan tetapi juga berbanding lurus dengan kerusakan ekosistem sumberdaya alam yang ada.[10]
Untuk di Desa Rukam, akibat hadirnya industri hutan tanaman industri (HTI) PT. WKS yang berdampak pada kerusakan tempat-tempat mencari ikan, mencari madu, rotan dan perkebunan masyarakat lainnya dengan total kerugian ekonomi yang dialami masyarakat mencapai Rp. 82.304.580.000.[11]
Jalan Buntu Mengurangi Konflik Sumber Daya Alam
Kebijakan memperuntukan satu wilayah untuk dijadikan kawasan industri, selain menyebabkan kecelakaan yang berdampak pada bencana ekologi, juga yang tidak kalah mengerikannya adalah, terampasnya wilayah kelola rakyat terhadap akses tanahnya yang menciptakan konflik sumber daya alam meningkat.
Dalam catatan WALHI Jambi yang berhasil dihimpun, jumlah konflik tenurial antara pihak masyarakat dan perusahaan baik perkebunan kelapa sawit maupun perusahaan hutan tanaman industri HTI, banyak terjadi diwilayah hilir yang menjadi objek wilayah pembukaan industri.[12]
Data frekuensi jumlah konflik sumberdaya alam WALHI Jambi Tahun 2017[13]
Dalam dokumen WALHI Jambi, jumlah konflik sumber daya alam antara pihak masyarakat dengan perusahaan, per tahun 2017 mencapai 61 desa di 4 (empat) Kabupaten, dengan rincian tabel sebagai berikut.
Konflik Perkebunan Industri Perkebunan Kelapa Sawit
|
Konflik Industri di Kawasan Hutan (HTI, Restorasi)
|
39 Desa
|
22 Desa
|
Dalam dokumen legal opini yang disusun oleh WALHI Jambi terhadap konflik yang dialammi oleh Desa Seponjen yang berkonflik dengan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. BBS dan Desa Rukam yang berkonflik dengan perusahaan HTI PT. WKS, tercatat kerugian ekonomi yang sangat besar yang dialami oleh masyarakat kedua desa.
Di Desa Seponjen, dari akibat hadirnya industri perkebunan kelapa sawit PT. BBS yang merusak tempat-tempat ekosistem sumberdaya alam desa seperti hilangnya tempat mencari jelutung, hilangnya tempat mencari rotan, rumbai, kayu punak dan tanaman kebun lainnya telah merugikan masyarakat sebesar Rp. 56.962.000.000 terhitung sejak perusahaan PT. BBS beroprasi 10 Tahun terakhir.
Logika Berputar Dalam Menyelesaikan Konflik Sumber Daya Alam
Angin segar untuk merubah wajah ketimpangan akses pengelolaan sumber daya alam kemudian muncul. Semangat Nawa cita yang dikomandoi oleh Presiden Joko Widodo, dengan mencanangkan perhutanan sosial 12,7 juta hektar dan reforma agraria melalui program tanah obyek reforma agraria (Tora) seluas 9 juta hektar hingga 2019, digadang-gadang akan memberikan solusi bagi persoalan konflik ketimpangan pengelolaan sumber daya alam yang terjadi.
Dalam pandangan WALHI Jambi, perhutanan sosial yang saat ini sedang ramai digalakan baik oleh lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah, merupakan pilihan taktis yang harus dilakukan. Karena dalam implementasinya, perhutanan sosial dalam konteks hukum terdapat unsur pengakuan masyarakat terhadap wilayah kelolanya diwilayah kawasan hutan oleh pemerintah.
Dipenghujung tahun 2017 ini, WALHI Jambi beserta komponennya telah melakukan intervensi dalam mendorong perhutanan sosial di 41 desa 6 (enam) Kabupaten dengan luasan 53.847 hektare.
Dengan rincian 11 desa 3 Kabupaten yang sudah mendapat SK izin seluas 6.764 hektare. Dan 8 desa yang baru diusulkan dan dengan menyisakan 22 desa yang masih dalam proses penguatan dokumen usulan perhutanan sosial.
Namun dalam konteks proses penyelesaian konflik sumber daya alam, skema perhutanan sosial ibarat peribahasa Indonesia “jauh panggang dari api”.[14]Karena sesungguhnya yang diharapkan, skema perhutanan sosial menjadi bagian dari kebijakan dalam konteks penyelesaian konflik sumber daya alam masih jauh dari harapan.
Hal tersebut karena dalam skema 12,7 juta hektar perhutanan sosial, pemerintah hanya mendorong wilayah intervensinya masih memprioritaskan pada basis peta indikatif areal perhutanan sosial (PIAPS). Dan jika kita padukan peta PIAPS, tidak masuk dalam wilayah konflik yang seharusnya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah dalam proses penyelesainnya.
Di dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, dinyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Di dalam praktek implementasi kebijakannya, Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 diatas banyak ditafsirkan sebagai legitimasi Pemerintah untuk melakukan eksploitasi sumberdaya alam dan perampasan wilayah kelola rakyat dengan mengeluarkan skema izin yang diberikan pada kelompok-kelompok korporasi industri baik perkebunan kelapa sawit maupun hutan tanaman industri HTI.
Pemerintah dalam pemaknaan pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, tidak lagi menjadi pihak yang hanya memiliki kewenangan mengatur sumberdaya alam untuk kemakmuraan rakyat, namun sudah menyeretkan diri kepada pihak yang berhak memutuskan dan menguasai atas sumberdaya alam yang ada.
Sehingga praktek-praktek yang banyak terjadi, adalah pemaksaan kehendak terhadap siapa-siapa saja yang berhak mengelola sumberdaya alam. Sehingga, rakyat pada saat ini dan pada saat sebelumnya yang sejatinya adalah pihak pemilik sumberdaya alam yang ada di negeri ini, banyak yang hanya menjadi objek kebijakan dalam penafsiran dan pelaksanaan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang salah kaprah.
Standing WALHI Jambi sebagai satu entitas yang memiliki keberpihakan terhadap kepentingan perkembangan kehidupan masyarakat dan penyelamatan ekosistem, memiliki 2 (dua) pilar utama yang menjadi garis kerja-kerja.
Pertama adalah, memutus situasi ketimpangan wilayah kelola dengan memastikan akses wilayah kelola rakyat harus berjalan adil. Kedua adalah mendorong tata kelola sumber daya alam yang baik dalam kepentingan untuk keberlanjutan ekosistem yang akan berfungsi sebagai daya dukung dan daya tampung.
Melihat dampak dari kebijakan politik pengelolaan sumber daya alam yang sudah banyak mengakibatkan konflik dan kerusakan ekosistem di Provinsi Jambi, WALHI Jambi memandang perlu dilakukannya langkah-langkah sebagai berikut.
Pertama, penegakan hukum terhadap pihak-pihak perusahaan pemegang izin untuk mengganti baik kerugian ekonomi maupun sosial yang dialami oleh masyarakat yang ditimbulkannya.
Kedua, penegakan hukum terhadap pihak-pihak perusahaan pemegang izin, untuk melakukan pemulihan ekosistem dengan pendekatan pengetahuan masyarakat dan regulasi yang ditimbulkannya. (selesai)
[1] Pernyataan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, Selasa 12/12/2017 di kantor Wapres Jakarta
[2] TRIBUNJAMBI.COM 11/7/2017 (Target 1000 Ha, Cetak Sawah Baru di Batanghari Baru Terealisasi 215 Hektar, Ternyata Karena ini)
[3] Dokumen konflik antara masyarakat Desa Sogo dengan PT. Bukit Bintang Sawit
[4] Dokumen Assesmen WALHI Jambi, terhadap konflik masyarakat Desa Kembang Seri dengan PT. Adimulia Palmo Lestari
[5] Dokumen RTRWP Provinsi Jambi 2013-2033 tentang penzonasian wilayah peruntukan.
[6] Dokumen RTRW Provinsi Jambi 2013-2033 (Rencana Pola Ruang Provinsi Jambi)
[7] Data dari dokumen riset ekosistem rawa gambut yang disusun oleh WALHI Jambi Tahun 2015, yang menemukan fakta dilapngan bahwa Siklus kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi dimulai pada awal periode Tahun 1997. Temuan dari riset ini juga yang menguatkan bahwa dimulainya aktivitas industri perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri HTI berbanding lurus dengan peristiwa dimulainya kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi.
[8] Dokumen riset wilayah kelola gambut oleh masyarakat Desa Seponjen, disusun oleh tim WALHI Jambi 2015.
[9] Dokumen legal Opini terhadap konflik Desa Rukam dengan PT. WKS ( Wilyah-wilayah konservasi dan ekonomi masyarakat Desa Rukam yang rusak akibat beroprassinya PT. WKS).
[10] Dokumen Legal Opini Terhadap konflik PT. Bukit Bintang Sawit (BBS) dengan Masyarakat Desa Seponjen, Sogo dan Kelurahan Tanjung dan Dokumen Legal Opini terhadap Konflik PT. Wira Karya Sakti (WKS) dengan masyarakat Desa Rukam.
[11] Dokumen Legal Opini konflik Desa Rukam dengan PT. WKS (Penghitungan kerugian ekonomi dari akibat beroprasinya industri HTI PT. WKS di wilayah Desa Rukam).
[12] Sumber diambil dari materi Power poin Konflik sumberdaya alam yang disampaikan pada kegiatan pelatihan hukum kritis di Desa pemayungan pada tahun 2017
[13] Perolehan data dihimpun dari berbagai sumber, diantaranya Pemerintah Provinsi Jambi, NGO dan media cetak, elektronik dan Online.
[14] Peribahasa Indonesia yang mengartikan, masih jauh dengan apa yang diharapkan.