Seorang Ibu
yang mengalami
ketidakadilan hukum

Ringkasan Situasi

Pada tanggal 31 Juli 2024, sekitar pukul 16.00 WIB, Tim Razia Gabungan yang terdiri dari 30 orang tiba di Desa Pemayungan. Tim ini melibatkan berbagai pihak penting, termasuk aparat kepolisian, TNI, kejaksaan, serta pejabat pemerintah seperti bupati dan camat, yang juga didampingi oleh beberapa perwakilan media. Kegiatan ini dilakukan sebagai bagian dari upaya penegakan hukum terkait dugaan pelanggaran yang melibatkan seorang warga desa.

Sdri. Dewita Br Silalahi saat itu sedang sibuk bekerja di belakang rumahnya. Ia sedang melakukan kegiatan mengimas, yakni membersihkan atau merapikan area di sekitar rumah, sambil memegang parang dan mengantongi korek api. Polisi dari tim razia kemudian memanggil Sdri. Dewita Br Silalahi untuk memberikan klarifikasi mengenai aktivitasnya. Anggota polisi menjelaskan bahwa mereka memerlukan penjelasan terkait penggunaan parang dan korek api yang dibawanya. Sdri. Dewita Br Silalahi tampak terkejut dan bingung, namun ia mengikuti instruksi yang diberikan oleh pihak berwenang.

Sementara itu, anggota tim lainnya mulai mendokumentasikan keadaan di sekitar rumah Sdri. Dewita Br Silalahi. Mereka mengambil foto dan video bekas perunan di samping rumahnya. Wilayah tersebut tampak bersih, tanpa ada api hidup atau asap, yang menunjukkan bahwa aktivitas yang dituduhkan tidak sedang berlangsung pada saat itu.

Tim gabungan kemudian memutuskan untuk menangkap Sdri. Dewita Br Silalahi. Bersama dengan dua anaknya yang masih kecil, ia dibawa ke pusat Desa Pemayungan. Setibanya di pusat desa, suasana menjadi ramai. Beberapa warga setempat, termasuk ketua masyarakat bernama Pak Bazir, mendekati tim gabungan. Pak Bazir, yang dikenal sebagai ketua swadaya masyarakat, meminta penjelasan mengenai alasan penangkapan Sdri. Dewita Br Silalahi. Bersama warga lainnya, ia menanyakan kesalahan yang dianggap dilakukan oleh Sdri. Dewita dan menyuarakan kepedulian mereka terkait tindakan yang diambil oleh tim razia.

Kanit yang memimpin operasi menjelaskan kepada Pak Bazir dan warga bahwa penangkapan dilakukan karena dugaan perambahan hutan yang dilakukan oleh Sdri. Dewita Br Silalahi. Kegiatan tersebut dianggap sebagai pelanggaran serius yang dapat merusak lingkungan dan melanggar hukum. Penjelasan ini disambut dengan berbagai tanggapan dari masyarakat setempat, yang sebagian besar khawatir dengan dampak hukum yang mungkin dihadapi oleh Sdri. Dewita Br Silalahi.

Setelah proses klarifikasi di pusat desa, pada pukul 20.00 WIB, Sdri. Dewita Br Silalahi dibawa ke Polres Tebo untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan keterangan lengkap mengenai keterlibatannya dalam kasus perambahan hutan serta untuk mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan.

Sementara itu, kedua anak Sdri. Dewita Br Silalahi diperbolehkan kembali ke rumah mereka untuk memastikan mereka tidak mengalami trauma atau masalah lebih lanjut selama ibu mereka berada di bawah proses hukum.

Pada tanggal 14 Agustus 2024, sebanyak 174 warga Desa Pemayungan mendatangi Polres Tebo. Mereka meminta agar Sdri. Dewita dibebaskan dari tuduhan pembakaran, dengan alasan bahwa ia adalah korban salah tangkap yang dilakukan oleh Tim Gabungan Polres, Kejaksaan, dan Forkopimda Kabupaten Tebo.

Saat ini, Sdri. Dewita Br Silalahi telah ditetapkan sebagai tersangka, diduga telah melakukan tindak pidana “Setiap Orang Dilarang Membakar Hutan” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (4) jo Pasal 50 ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang telah diubah dengan Pasal 36 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Atau, “Setiap Orang Dilarang Mengerjakan, Menggunakan, dan/atau Menduduki Kawasan Hutan Secara Tidak Sah” sebagaimana dimaksud Pasal 78 ayat (3) jo Pasal 50 ayat (2) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang juga telah diubah dalam Pasal 36 Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023.

Ketentuan hukum yang mengatur tentang penangkapan dan penahanan oleh penyidik kepolisian adalah sebagai berikut:

1. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana:

  • Pasal 3 ayat (5) huruf a mengatur bahwa “Laporan Polisi Model A adalah laporan yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui, atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi.”

2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP):

  • Pasal 1 angka 20 menyatakan bahwa “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan/atau peradilan.”
  • Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa “Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”
  • Pasal 21 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa “Perintah penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, apabila terdapat kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan/atau mengulangi tindak pidana.”

Sidang Pertama Ibu Dewita Dari Lapas Hingga Persidangan Pertama

Sidang pertama Dewita Br. Silalahi digelar pada 30 September 2024 di Pengadilan Negeri Muaro Tebo. Dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Hotma Edison Parlindungan Sipahutar, S.H., M.H., persidangan dimulai dengan pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Hari Anggara, S.H., M.H. Jaksa menegaskan dua opsi pasal terkait dugaan perusakan atau pemanfaatan hutan secara ilegal, yang membawa ancaman hukuman berat bagi Dewita. Meskipun berada di bawah tekanan berat, Dewita tetap tampak tenang selama persidangan. Keluarganya, yang setia menunggu, akhirnya dapat menemui Dewita setelah sidang selesai.

Selengkapnya : Dari Lapas hingga Persidangan Pertama 
Siaran Pers : Ibu Petani Kecil itu menjalani Sidang Pertamanya

Sidang Kedua Ibu Dewita Menyemai Kehidupan di Lahan Kering,  Dihadapkan dengan Tuduhan Tak Beralasan

Kasus yang melibatkan Ibu Dewita Br Silalahi, seorang petani lokal di Tebo, menyoroti konflik antara pengelolaan lahan masyarakat dengan kebijakan perusahaan besar, PT Alam Bukit Tiga Puluh (PT ABT), yang memegang konsesi untuk restorasi hutan. Ibu Dewita dituduh membakar lahan di wilayah restorasi pada Juli 2024. Namun, ia membela diri dengan menyatakan bahwa pembakaran yang dilakukan bertujuan untuk menyiapkan lahan bagi tanaman pangan demi kelangsungan hidup keluarganya, bukan untuk merusak hutan.

Dalam persidangan kedua pada 21 Oktober 2024, saksi dari kepolisian menyebutkan adanya bukti pembakaran dan barang bukti di lokasi, sementara Ibu Dewita berargumen bahwa pembakaran tersebut dikendalikan dan tidak meluas. Proses hukum yang dijalani Ibu Dewita juga menjadi sorotan karena ia tidak didampingi kuasa hukum saat pemeriksaan awal, memicu kekhawatiran terkait hak-hak terdakwa.

Selengkapnya : Sidang kedua Ibu Dewita : Menyemai Kehidupan di Lahan Kering, Dihadapkan dengan Tuduhan Tak Beralasan

 

 

Sidang Ketiga Ibu Dewita Mengupas Fakta Persidangan Kasus Pembakaran Lahan  di Konsesi PT ABT

Persidangan ketiga kasus Dewita Br Silalahi di Pengadilan Negeri Tebo mengungkap fakta konflik agraria antara masyarakat Desa Pemayungan dan PT Alam Bukit Tiga Puluh (PT ABT). Dua saksi fakta, Gundra bin Samuri dan Imran bin M. Somad, memberikan keterangan yang menunjukkan tumpang tindih wilayah antara konsesi perusahaan dan area yang sudah lebih dulu ditempati masyarakat. Gundra mengakui tradisi “merun” sebagai kearifan lokal, namun lokasi bekas bakaran yang ditemukan berada dalam konsesi PT ABT. Imran menambahkan bahwa PT ABT melarang pembakaran dan pendudukan lahan tanpa izin, meski perusahaan telah melakukan sosialisasi, termasuk menawarkan kemitraan kepada masyarakat setempat, yang belum terlaksana.

Kasus ini mencerminkan kompleksitas konflik agraria di mana hak-hak masyarakat lokal berbenturan dengan kepentingan korporasi. WALHI Jambi terus mendampingi Dewita dalam upaya memperjuangkan hak-haknya, sekaligus memanfaatkan fakta-fakta persidangan untuk menggalang dukungan publik. Sidang ini menjadi ujian bagi sistem hukum dan kebijakan agraria di Indonesia, terutama dalam memastikan keadilan bagi masyarakat adat dan lokal yang mempertahankan tradisi serta tanah leluhur mereka.

Selengkapnya : Sidang ketiga Ibu Dewita : Mengupas Fakta Persidangan Kasus Pembakaran Lahan di Konsesi PT ABT