September Hitam : Ketidakadilan dibalik kebakaran hutan dan lahan, “Beda Pelaku Beda Perlakuan”

Setiap bulan September, kita dihadapkan pada lembaran kelam sejarah penegakan hukum dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. “September Hitam” bukan hanya peringatan tahunan, tetapi juga cerminan nyata dari ketidakadilan yang telah mengakar dalam penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM. Dari pembantaian jenderal dalam peristiwa G30S/PKI, tragedi Tanjung Priok 1984, hingga kekerasan aparat pada aksi Reformasi Dikorupsi 2019, bulan ini mengingatkan kita pada lemahnya perlindungan terhadap HAM di negeri ini. Ketimpangan penegakan hukum terhadap pelaku kebakaran hutan dan lahan hanya menambah daftar panjang ketidakadilan yang terus berulang.

Ketika asap pekat menyelimuti langit, perhatian publik sering kali tertuju pada masyarakat lokal yang dianggap sebagai pelaku utama bencana ini. Mereka yang tinggal di sekitar hutan, yang sering kali hanya berusaha bertahan hidup, menjadi sasaran dalam proses hukum yang berat sebelah. Namun, kenyataan pahit jarang dibicarakan: perusahaan besar yang beroperasi di lahan-lahan yang terbakar sering kali lolos dari jerat hukum. Sanksi yang mereka terima, jika ada, jauh dari setimpal dengan kerusakan yang mereka sebabkan. Ketimpangan ini memperlihatkan bahwa sistem hukum kita lebih condong melindungi mereka yang memiliki kekuasaan dan sumber daya, daripada masyarakat kecil yang sering kali menjadi korban.

Contoh nyata dari ketidakadilan ini terlihat di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi. Dewita BR. Silalahi, seorang ibu dari dua anak, ditangkap karena membakar tumpukan daun kering dan semak belukar di lahannya yang akan digunakan untuk berkebun. Tindakannya, yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, dianggap sebagai kejahatan berat yang membuatnya harus menghadapi ancaman hukuman yang tidak sebanding dengan niatnya. Kasus ini menggambarkan bagaimana masyarakat kecil sering kali menjadi korban dari kebijakan yang tidak mempertimbangkan realitas kehidupan mereka.

Sementara itu, perusahaan besar yang beroperasi di lahan yang sama sering kali hanya dikenai denda kecil atau bahkan lolos dari tuntutan hukum meskipun kerusakan yang mereka sebabkan jauh lebih besar. Contohnya, PT. Artha Mulia Mandiri (AMM) dan PT. Sungai Bahar Pasifik (SBP) di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, serta PT. Puri Hijau Lestari (PHL) di Kabupaten Muaro Jambi, teridentifikasi mengalami kebakaran di wilayah konsesi mereka dengan total luas sekitar 120 hektar. Meskipun kebakaran ini terjadi di lahan mereka, perusahaan-perusahaan ini tidak melakukan upaya mitigasi yang memadai untuk mencegah kebakaran. Lebih buruk lagi, ada dugaan bahwa mereka beroperasi tanpa izin yang lengkap, sebuah pelanggaran serius yang seharusnya mendapatkan perhatian hukum yang tegas. Namun, hingga saat ini, belum ada tindakan hukum pasti terhadap kedua perusahaan tersebut.

Ketidakadilan ini adalah hasil dari sistem hukum dan pengawasan lingkungan yang lemah, di mana kekuatan ekonomi dan politik perusahaan besar memberikan mereka kekebalan de facto. Peraturan dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan sering kali tidak berpengaruh pada mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik. Lobi politik, hubungan dekat dengan pejabat pemerintah, dan sumber daya finansial yang melimpah memungkinkan perusahaan-perusahaan ini menghindari konsekuensi hukum yang serius.

“September Hitam” harus menjadi titik balik sebuah seruan untuk perubahan yang nyata. Selama bertahun-tahun, bulan September telah menjadi simbol ketidakadilan yang terus berlanjut di Indonesia. Ketika kita mengingat sejarah ini, kita juga harus menuntut reformasi dalam penegakan hukum dan pengawasan lingkungan yang lebih adil. Tidak boleh ada lagi diskriminasi antara masyarakat kecil dan perusahaan besar. Hukum harus ditegakkan secara merata, tanpa memandang siapa yang berkuasa atau siapa yang rentan.

Perubahan ini membutuhkan partisipasi aktif dari semua pihak, baik itu pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Transparansi dalam proses hukum, pengawasan yang lebih ketat terhadap aktivitas perusahaan, serta dukungan yang lebih besar bagi masyarakat lokal adalah langkah-langkah penting yang harus diambil. Hanya dengan komitmen bersama, kita dapat memastikan bahwa keadilan lingkungan bukan lagi menjadi mimpi, tetapi kenyataan yang dapat dinikmati oleh semua.

Selengkapnya, unduh dokumen September Hitam , Ketidakadilan Penegakan Hukum Karhutla berikut.

Kamu Harus Baca Juga ini :

Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang

Siaran Pers Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang Jambi- Problematika industri pertambangan Batubara dan proses pengangkutannya masih menjadi permasalahan serius yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Pasca dilantiknya Gubernur...

Read More