Ketimpangan penguasaan ruang kelola, tertutupnya data dan dokumen terkait pengelolaan sumber daya alam (SDA), pelanggaran prosedur dan lemahnya penegakan hukum, serta tidak adanya pelibatan masyarakat menjadi pemicu terjadinya konflik masyarakat di Jambi. Di Provinsi Jambi terdapat 18 izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan total luasan 686.662,42 Ha, 14 izin berstatus aktif dan 4 lainnya tidak aktif. Izin-izin konsesi tersebut masih menyimpan permasalahan terkait konflik penguasaan lahan, kerusakan ekosistem dan SDA dan pola kemitraan yang tidak adil bagi masyarakat, salah satunya adalah PT. Lestari Asri Jaya (LAJ).

Pada 2015, Michelin, perusahaan ban raksasa global mengadopsi kebijakan NDPE, kemudian berinvestasi dan menggandeng Barito Pacific Group untuk membangun perkebunan dan pengolahan karet alam ‘berkelanjutan’ PT. Royal Lestari Utama (RLU) dengan kepemilikan 51% oleh Barito Pacific Group dan 49% oleh Michelin. Pada Juni 2022, Michelin membeli sisa saham yang dimiliki oleh Barito pacific Group, sehingga Michelin adalah pemilik utama RLU 1 .

Konflik di Desa Pemayungan
PT. LAJ memiliki izin konsesi seluas 61.495 Ha di Jambi. Ketimpangan penguasaan lahan ini mengakibatkan kebrutalan pihak perusahaan untuk melakukan penggusuran terhadap kebun masyarakat yang telah melakukan aktifitas pertanian jauh sebelum hadirnya perusahaan. Masyarakat mengalami intimidasi untuk menyerahkan lahan yang dikelola. Banyak masyarakat yang mendapatkan surat pemanggilan polisi dengan alasan wawancara, tanaman yang dirusak oleh perusahaan, dan kriminalisasi yang dilakukan perusahaan. Tindakan PT. LAJ yang melakukan tindakan intimidasi dan kriminalisasi dengan melaporkan masyarakat Desa Pemayungan ke pihak kepolisian yang mempertahankan hak atas tanah untuk memenuhi kebutuhan dan keberlangsungan hidup adalah sebuah pelanggaran terhadap jaminan atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu masyarakat Desa Pemayungan dijamin Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945. Hal ini berimbas pada pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Desa Pemayungan.

Tidak hanya penggusuran yang diterima oleh masyarakat, namun juga akibat pembukaan lahan yang dilakukan secara masif, berskala besar dan kebijakan perusahaan yang membuat Wildlife Conservation Area (WCA) atau Wilayah Cinta Alam di sekitar kebun masyarakat, menimbulkan konflik antara petani dan satwa liar Gajah Sumatera. Masyarakat dihadapkan dengan fenomena dimana pagi hari harus berhadapan dengan penggusuran dari perusahaan, dan malam hari harus berjibaku menghalau masuknya kelompok Gajah ke kebun mereka. Hal ini menunjukkan betapa jelasnya ketimpangan tata kelola pemerintah dan buruknya tata kelola perusahaan di lapangan yang tidak menghormati hak-hak masyarakat.

Melalui Perkumpulan Petani Pemayungan Mandiri (PPPM), masyarakat telah melakukan beberapa kali perundingan dengan PT. LAJ. Pada tiap perundingan, masyarakat Desa Pemayungan (PPPM) tetap berpendirian untuk secara mandiri mengelola tanah tanpa adanya campur tangan perusahaan, memiliki secara penuh wilayah kelola dengan skema yang adil.

Ambisi dan klaim sebagai perusahaan karet alam berkelanjutan dari PT LAJ anak perusahaan PT RLU yang dimiliki Michelin Group, perusahaan ban dunia, telah berbanding terbalik dengan praktik di lapangan, persoalan deforestasi, konflik dan kriminalisasi terhadap masyarakat. Obligasi ‘hijau’ berkelanjutan sebesar US$95 juta untuk program pengendalian iklim, rumah satwa liar dan porduksi karet alam yang inklusif kepada PT RLU dari TLFF ternyata tidak sehijau kenyataannya.

Berbagai persoalan yang dilakukan Michelin Group melalui PT RLU dan anak perusahaannya PT. LAJ diuraikan pemberitaan majalah Tempo edisi lingkungan dengan judul utama “Kredit Hijau Michelin”. Kami, Organisasi Masyarakat Sipil menyampaikan hal-hal berikut:

  1. PT. LAJ sebagai anak perusahaan PT. RLU (Michelin Group) menerapkan komitmen No Deforestation, No Peat and No Exploitation (NDPE) dan kerangka (ESG) Environment, Social corporate Governance. Termasuk mendesak perusahaan untuk melakukan uji tuntas Hak Asasi Manusia dan Lingkungan sebagai bentuk “The corporate responsibility to respect human rights” yang diberikan United Nation Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs);
  2. PT. LAJ sebagai anak perusahaan PT. RLU (Michelin Group) menghormati keinginan masyarakat tentang skema pengelolaan lahan dan menghentikan segala bentuk tindakan intimidatif dan represif kepada masyarakat terkait konflik lahan, serta menindak internal perusahaan yang melakukan atau terlibat dalam intimidasi dan represif terhadap masyarakat;
  3. Mendesak Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat terutama KLHK dan ATR/BPN untuk mengevaluasi, mengawasi dan menertibkan perijinan perusahaan yang berkaitan dengan Sumber Daya Alam di Jambi dan menindak perusahaan pelaku kejahatan lingkungan dan Hak Asasi Manusia;
  4. Meminta Komnas HAM dan Special Rapporteur Komisi Tinggi HAM PBB terkait (Environment, Climate Change, Human Rights Defenders, dan Indigenous Peoples) untuk melakukan investigasi independen untuk mendorong penyelesaian konflik-konflik agraria dan memulihkan kerusakan lingkungan dan hak-hak masyarakat korban.

Jambi – Jakarta, 24 Oktober 2022
Perkumpulan Petani Pemayungan Mandiri (PPPM); WALHI Jambi; WALHI Eksekutif Nasional; Greenpeace Indonesia; Satya Bumi, Forest Watch Indonesia (FWI); KKI WARSI, Perkumpulan Hijau, Lembaga Tiga Beradik

Kontak:

Abdullah, Direktur Eksekutif WALHI Jambi, abdull.jambi@gmail.com
Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun, ulisiagian@walhi.or.id
Angga Sinuhaji, Ketua Perkumpulan Petani Pemayungan Mandiri (PPPM)
Annisa Rahmawati, Direktur Eksekutif Satya Bumi, annisa.rahmawati@satyabumi.org
Arie Rompas, Team Leader Forest Campaign, arie.rompas@greenpeace.org
Mufti Barri, Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia, muftiode@fwi.or.id

[1] https://natural-rubber.michelin.com/natural-rubber-by-michelin/history/royal-lestari-utama