KONFERENSI RAKYAT JAMBI

KEDAULATAN RAKYAT DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Konferensi Rakyat Jambi yang dilaksanakan di Asrama Haji Jambi, 31 Agustus – 2 September 2007 dengan tema “Rakyat Berdaulat Mengelola SDA”. Acara ini difasilitasi oleh Walhi Jambi yang diikuti oleh 98 orang perwakilan rakyat yang menjadi korban konflik PSDA dari 5 kabupaten yakni Kabupaten Merangin, Sarolangun, Batang Hari, Tanjung Jabung Barat dan Muaro Jambi adapun permasalahan yang di hadapi terkait isu perkebunan, pertambangan, Kehutanan, masyarakat adat dan bencana ekologis yang tersebar dibeberapa kabupatn dan kota di Propinsi Jambi. 

Dalam Konferensi ini dilakukan pembahasan yang mendalan dan terfokus terhadap persoalan perkebunan, hutan, pertambangan , dan eksistensi masyarakat adat terhadap sumber daya alam mereka, serta dampak bencana ekologis akibat kebijakan salah urus alam, berdasarkan hasil rumusan dalam Focus Group Discussion (FGD) konflik PSDA tiap kabupaten di Jambi.

Menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumber daya alam di daerah Jambi terdapat beberapa konflik PSDA sektoral dan subtansi yakni :


1. Perkebunan 

Perkebunan di Propinsi Jambi luasanya mencapai 694.310 ha (kompilasi Sawit Watch semester 1 tahun 2007).Dari proses 3 hari pertemuan ini ditemukan beberapa persoalan yang muncul terkait perkebunan kelapa sawit skala besar, persoalan yang muncul sekitar 99% terkait dengan sengketa tanah adat dan wilayah, mengingkari kesepakatan yang telah dibuat antara perusahaan dengan masyarakat, tidak ada transparansi saat perusahaan melakukan operasi di beberapa daerah yang telah mengantongi ijin.Disisi lain ada praktek yang dilakukan perusahaan dalam ijin yang diberikan dinas terkait tercatat bahwa areal yang digunakan untuk komoditi karet tetapi dalam prakteknya ditanami sawit.Selain perkebunan sawit terdapat juga perkebunan komoditas lain yang telah melakukan mal praktek.Kesemua persoalan yang muncul ini berawal dari sistem kebijakan yang tidak mempedulikan hak masyarakat local.


2. Pertambangan 

Pertambangan di provinsi Jambi selama ini telah banyak menimbulkan masalah-masalah dan komplik, dikarenakan salah kebijakan dari pemerintah dalam membuat kebijakan dan perizinan jelas-jelas tidak ada keberkepihakan pada masyarakat hanya menguntungkan para Investor pada kesempatan ini kami menyimpulkan bahwa kebijakan selama ini harus dirobah secara total dan mendasar,

Masalah yang timbul oleh penambangan batu – bara yang membuat timbulnya komplik penyerobotan tanah hak ulayat dan masyarakat, menumbulkan bekas galian membuat tanah bekas galian itu tidak dapat dikelola kambali (tidak direklamasi)

Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI), pasir dan batu, yang merusak lingkungan daerah aliran sungai, ekosistem sungai, abrasi, pencemaran dan pendangkalan sungai yang berdampak pada bencana ekologis dan kesehatan.


3. Kehutanan

Pengelolaan hutan di Propinsi Jambi selain mendatangkan Income bagi Negara sekaligus mendatangkan bencana bencana bagi masyarakat Jambi, khususnya yang tinggal didalam ataupun disekitar hutan. Pengelolan hutan dijambi bisa dibagi kedalam dua jenis bidang pengeloaan yaitu hutan Produksi dan hutan lindung/konservasi. Dua jenis pengelolaan tersebut sama-sama lebih banyak merugikan masyarakat ketimbang menguntungkan. Contoh pengelolaan Kawasan hutan lindung/konservasi yang merugikan masyarakat adalah ditetapkannya Kawasan Bukit 12 sebagai Taman Nasional Bukit 12. Penetapan Kawasan Bukit 12 menjadi taman Nasional tentu saja akan mengurangi hak-hak Orang Rimba yang sudah lama tinggal disana untuk memanfaatkan hutan beserta segala kekayaannya. Sementara contoh pengelolaan Kawasan hutan Produksi yang sangat merugikan rakyat adalah beroperasinya PT WiraKarya Sakti di lima kabupaten di Propinsi. Kerugian yang diderita rakyat meliputi :

– Perampasan lahan garapan dan hutan milik rakyat

– Punahnya keanekaragaman hayati

– Bencana alam berupa banjir dan kekeringan

– Pencemaran limbah beracun

– Terjadinya konflik antara masyarakat dan PT WKS

– Terjadinya konflik horizontal antar masyarakat


4. Masyarakat Adat

Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 18B ayat ada pengakuan tentang keberadaan masyarakat hukum adat di sebagian daerah Indonesia. Begitu pun di Tap MPR No.IX/1999. Namun di peraturan perundang-undangan di level lebih bawah (khususnya di tingkat kabupaten), belum seluruhnya ada peraturan daerah yang memperkuat dan menjamin keberadaan masyarakat adat.


Konflik pengelolaan sumberdaya alam kalau ditilik lebih jauh berkaitan adanya benturan antara penetapan kawasan sumberdaya alam dengan kawasan adat. Tumpang tindih pengelolaan kawasan SDA dengan kawasan adat menjadi konflik kawasan yang selama ini terjadi di Propinsi Jambi.


Dalam sektor kehutanan, penetapan kawasan konservasi, industri kehutanan (Hak Pengelolaan Hutan/HPH, Hutan Tanaman Industri/HTI) berada dalam wewenang departemen kehutanan. Menurut peraturan perundang-undangan berlaku, 70% wilayah daratan di Indonesia berada dibawah wewenang Departemen Kehutanan. Ijin operasi HPH/HTI yang terjadi di Propinsi Jambi berada dalam kewenangan Departemen Kehutanan.


Menurut UU No.41/1999 tentang Kehutanan, masyarakat adat memiliki kesempatan mendapatkan hak atas kawasan adatnya kembali atau kawasan hutan adat. Namun sebelum Departemen Kehutanan memberikan penetapan kawasan adat atau hutan adat ada prasyarat. Prasyarat ini salah satunya adalah adanya peraturan daerah (kabupaten) yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat.



5. Bencana Ekologis 

Pengelolaan sumber daya alam yang begitu buruk di Propinsi Jambi ini bukan saja tidak berpihak kepada masyarakat dan menyebabkan pemiskinan yang sistematis. Buruknya pengelolaan sumber daya alam ini juga telah menimbulkan bencana ekologis yang luar biasa. Bencana dan ancaman bencana yang lebih besar membuat masyarakat Jambi terkurung dalam ancaman pada kehidupannya.

Pembukaan lahan sawit secara besar-besaran, pembukaan hutan, konversi lahan gambut secara sistematis merusak sistem hidrologi yang ada. Banjir, kekeringan, temasuk kebakaran hutan dan asap menjadi sumber ancaman yang menjadi laten dalam satu decade terakhir.

Pada sisi lain, tekanan industrialisasi yang sangat miskin kontrol, menghasilkan buangan limbah yang mengganggu kualitas air dan udara sehingga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit pada masyarakat. Jelas-jelas terjadi pelanggaran Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 tahun 1997 yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan lahirnya bencana.

Bencana ekologi yang lahir dari kegagalan pengelolaan sumber daya alam ini ternyata juga tidak diimbangi dengan pengelolaan dan penanganan bencana secara baik. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah hak atas tanah dan adatnya dilanggar habis-habisan, saat bencana datang, tidak ada penanganan yang manusiawi dan mampu mengembalikan kondisi masyarakat terkena bencana seperti sedia kala.

Pada jangka panjang, selama kerusakan ekologi yang ada tidak segera diperbaiki, tidak mustahil Jambi akan berhadapan dengan bencana lain. Kerusakan kesuburan tanah, semakin meningkatnya intensitas kekeringan dan banjir dapat membawa Jambi pada krisis pangan yang akut dan akhirnya membawa pada krisis pembangunan di Jambi sendiri.

Lahirnya Undang-Undang Penanganan Bencana nomor 24 tahun 2007 pada bulan 29 Maret 2007 lalu masih belum mampu memberikan jaminan pada masyarakat untuk hidup terbebas dari bencana. Pemerinta Propinsi Jambi dan jajarannya masih menganggap penanganan bencana sekedar bantuan karitatif semata yang berorientasi pada penanganan “sesempatnya” dan “seadanya”. Tidak ada penanganan yang komprehensif dan mampu menempatkan masalah bencana sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembangunan di Propinsi Jambi.

Jelas-jelas hal ini merupakan bentuk ketidak pedulian dan pelanggaran atas hak asasi manusia dan hak warga Negara Indonesia untuk hidup bermartabat dan bebas dari ancaman bencana serta hak untuk memperoleh penghidupan yang layak, baik sebelum, saat maupun paska bencana sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945, UU Penanggulangan Bencana No. 24/2007.




Dari pembahasan dalam konferensi tersebut dihasilkan beberapa rekomendasi :

A. Ektern

1. Semua kuasa pertambangan , Kehutanan dan perkebunan diperlukan peninjauan atau kaji ulang terhadap tata kelola dan pemanfatan bagi masyarakat dan lingkungan, serta menyatakan bahwa penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam harus berpihak kepada kepentingan rakyat

2. Di pandang perlu dan mendesak dilahirkannya Peraturan dareah tentang pengakuan keberadaan masyarakat adat dijambi yang selama ini selalu dipingirkan dan dianak-tirikan 

3. Meminta kepada badan-badan pemerintah yang berwenang dalam menetapkan dan memutuskan kebijakan pengelolaan SDA daerah untuk mendahulukan kepentingan rakyat Jambi.

4. Pemerintah perlu memediasi penyelesaian konflik kawasan pengelolaan SDA yang terjadi antara mayarakat dengan pihak-pihak pemegang kuasa pengelolaan SDA di Jambi.

5. Departemen Kehutanan, ESDM, BPN menginformasikan perencanaan pembangunan industri yang bergerak di sektor SDA kepada publik.

6. Perencanaan pembangunan oleh pemerintah pusat dan daerah perlu di sosialisasikan secara transparan kepada publik. 

7. Menuntut munculnya PERDA-PERDA yang menjamin hak pengelolaan SDA oleh masyarakat.

8. Melibatkan masyarakat dalam pembangunan daerah yang adil dan berkelanjutan.


B. Intern

1. Menyerukan kepada seluruh komponen rakyat Jambi yang selama ini terzalimi , diusir hak-hak hidup serta dipingirkan secara sistematis oleh penguasan dan pengusahaan untuk merapatkan barisan serta berjuang secara sungguh dan sistematis guna mempertahankan hak-hak atas pengelolaan sumber daya alam.

2. Membangun kesadaran bersama untuk saling bahu-membahu guna memperjuangkan hak-hak dan melupakan pertikaian yang terjadi selama ini yang diakibatkan oleh provokasi pihak yang berkepentingan secara ekonomi terhadap sumber daya alam yang dimiliki oleh rakyat. 

3. Memperkuat keberadaan kelembagaan adat dan praktek-prakteknya bagi masing-masing kelompok masyarakat adat di Jambi, serta menemukan kesepakatan-kesepakatan baru antar masyarakat adat.

4. Memperkuat kembali kearifan lokal dalam pengelolaan hutan agar sumber-sumber kehidupan masyarakat tidak hilang dan berkelanjutan.

5. Perkebunan rakyat harus di kelola berdasarkan kepentingan ekonomi rakyat.

6. Rakyat Jambi mempersiapkan diri untuk melakukan penyelesaian-penyelesaian tentang konflik pengelolaan SDA. 

7. Rakyat di Jambi mempersiapkan diri untuk menghadapi, menangani bencana-bencana keemanusian dan lingkungan akibat konflik pengelolaan SDA terhadap pengrusakaan SDA.

8. Meminta kepada semua pihak baik masyarakat, pemerintah, swasta, akademisi untuk secara bersama-sama melakukan penataan ulang tentang pengelolaan SDA yang adil dan lestari bagi kepentingan masyarakat dan lingkungan.

Kamu Harus Baca Juga ini :

Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang

Siaran Pers Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang Jambi- Problematika industri pertambangan Batubara dan proses pengangkutannya masih menjadi permasalahan serius yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Pasca dilantiknya Gubernur...

Read More