Program Pemerintah Kabupaten Muara Jambi yang menetapkan program transmigrasi di areal Taman Hutan Raya Tahura menimbulkan persoalan terhadap pengelolaan sumber daya alam dan merusak ekosistem yang terdapat didalamnya.
Program Pemerintah Kabupaten Muara Jambi selain merusak ekosistem dan dan pengelolaan sumber daya alam juga bertentangan dengan sistem hukum di Indonesia. Didalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, terhadap pengalihan fungsi dari Taman Nasional ke hutan produksi, dari Hutan raya ke Hutan Prodeuksi dan dari Hutan Raya ke areal penggunaan lain harus ditetapkan melalui persetujuan parlemen dan Menteri Kehutanan Republik Indonesia. Tentu saja masih ingat dalam bayangan kita, tentang kasus yang menimpa anggota parlemen terutama dari Komisi IV dalam alih fungsi bagan Siapi-api dan berbaagai kasus alih fungsi lainnya. Kasus ini menguak tentang praktek pengalihan fungsi dengna berkedok ada dasar hukum dan bermotif penyuapan dan korupsi. Kasus ini menjadi pelajaran penting dari kasus yang bertabrakan dengan UU No. 41 tahun 1999.
Tentu saja kasus ini merupakan perumpamaan dan melihat kasus yang terjadi di Kabupaten Muara Jambi. Dari fakta-fakta yang telah terjadi di lapangan, Sebanyak 150 kepala keluarga (KK) menjadi peserta transmigrasi dan akan ditempatkan di Desa Aur Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muarojambi. Di tahun pertama, peserta transmigrasi ini mendapatkan bantuan dari pemerintah, seperti bibit, pupuk, kepala sawit, dan bibit padi. Menurut Kepala BPD desa sugai aur alfian mengatakan para peserta transmigrasi itu akan ditempatkan di tahun ini juga. Dan hal ini di adopsikan ketika pemerintahan daerah kabupaten muaro jambi disektoral “Transmigrasi” bahwa tujuan dan pengembangan transmigrasi berorientasi untuk pengembangan wilayah serta pemulihan ekonomi masyarakat.
Bupati Muaro Jambi Drs, H.Burhanuddin Mahir S.H. mengusulkan kepada Gubernur Jambi dengan Nomor surat : 522/776/KANHUT Tanggal 10 Desember 2008 tentang usulan penyelesaian pembangunan transmigrasi dalam kawasan hutan. Padahal sebelum Bupati mengirimkan surat tersebut, peserta tranmigrasi telah ditempatkan di berbagai desa (Desa Jebus, Gedong Karya, Sungai Aur).
Secara umum yang dibangun pada tahap awal tahun 2008 sesuai dengan MOU yang telah disepakati antara Pemerintah Lamongan dengan pemerintahan Muaro jambi. Pemerintah Kabupaten Muara Jambi kemudian mengadakan kerja sama dengan PT.Batanghari Sawit Plantation [BSP)
Dari fakta-fakta yang telah terjadi, maka terhadap kasus ini maka Pemerintah Kabupaten Muara Jambi dapat dipertanggungjawabkan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan UU No. 41 tahun 1999 dimana Pemerintah Kabupaten telah melaksanakan pekerjaan penempatan trasmigrasi diareal Hutan raya. Ini dapat ditandai dengan Kerjasama dengan PT, Batanghari Sawit Plantation dan penempatan transmigrasi diareal hutan Raya Tahura tanpa persetujuan dari DPR dan Menteri Kehutanan.
Dari paparan yang telah disampaikan, maka dapat disampaikann sebagai berikut :
1.Mendesak aparatur hukum untuk dapat memproses dan menindaklanjuti kasus ini sampai dimuka hukum;
2.Menghentikan pekerjaan terhadap pembangunan areal trasmigrasi dan pembangunan kelapa sawit;
3.Mengembalikan fungsi dan guna hutan raya tahura sebagai ekosistem yang dibutuhkan dalam daya dukung lingkungan bagi lingkungan.
Baca Koran tempo 07/02/2009 selengkapnya
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/07/Nusa/krn.20090207.156082.id.html