Aktivitas PETI Picu Konflik Horizontal

JAMBI- Kasus pembunuhan Salim Kancil dan penganiayaan Tosan, dua aktivitas penolak pernambangan pasir di Luamajang dapat juga terjadi di Provinsi Jambi. Maraknya aktivitas PETI di Hulu Sungai Batanghari dapat saja memicu konflik horizontal dalam masyarakat dan bermuara kepada kasus kekerasan hingga pembunuhan.

“Sesuai dengan temuan kita, ada yang pro dan kontra dengan aktivitas pertambangan. Sehingga adanya peluang menjadi gesekan. Dapat menimbulkan kekerasan ditengah masyarakat sendiri,” kata Dwi Nanto, Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jambi.

Dwi mengatakan, terjadinya konflik kekerasan dapat saja terjadi karena potensi yang tidak di monitoring oleh pemerintah. Terutama oleh aparat keamanan setempat. “Semua tergantung aparat keamanannya, kalau mereka tidak berperan aktif, bisa kecolongan seperti yang terjadi di Lumajang. Peran aparat hukum tidak hadir,” ujarnya.
Dijelaskannya, selama ini perangkat desa selalu memanfaatkan aktivitas eksploitasi sebagai lahan untuk meraup keuntungan. Dikatakannya, masyarakat bisa saja melakukan gugatan secara perangkat desa yang bermain. Namun, kasus di Jambi sangat susah untuk diungkap karena karakter masyarakat Jambi yang masih tertutup.


” Dijambi belum ada kasus pembunuhan yang terkait tambang. Potensi pasti ada, diorganisir oleh orang yang berkepentingan dalam tambang dan gesekannya pasti kencang,” ungkapnya.
” Sulit diungkap, tenggang rasanya cukup tinggi sehingga mereka tidak mau terjadi konflik horizontal,” tandasnya.
Disis lain, konflik horizontal yang dipicu perilaku kepala desa tidak hanya dapat terjadi pada aktivitas PETI, namun juga eksploitasi lain, seperti perkebunan. “Misalnya, perusahaan masuk melalui kepala desa dan menjual hak-hak masyarakat, kemudian saat ditanami muncul konflik,” tuturnya.
“Itu sumbernya permainan perangkat desa. Seharusnya masyarakat bisa langsung menggugat,” jelasnya.

Disisi lain, persoalan tambang sendiri tidak hanya menyebabkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Namun, mengakibatkan jalan hancur dan tempat-tempat tambang tidak layak dihuni. Dimana, 1.092 juta hektar telah hancur akibat aktivitas pertambangan.
Belum lagi aktivitas pertambangan yang mengakibatkan Sungai Batanghari tercemar Merkuri. Dimana, logam berat itu dapat menyebabkan kematian. Dalam konsentrasi yang lebih rendah pun sangat berbahaya. Merkuri dalam tubuh bersifat akumulatif.
Masuknya Merkuri alias air raksa ( Hidrargyrum, Hg) dapat menginfiltrasi jaringan dalam tubuh. Akibatnya, jaringan dan organ rusak, janinnya cacat, serta intelektualitas (IQ) jongkok. “Kematian biasanya tidak cepat datang. Pelan, tetapi pasti,” ujar Musri Nauli, Direktur Walhi Jambi.
“Semua aktivitas pertambangan kemudian menjadikan lingkungan hidup tidak lagi bisa diperbaiki. Industri keruk bumi kemudian meninggalkan lubang-lubang yang menganga tanpa reklamasi tambang,” pungkasnya.(iam)

Sumber : Jambi Independent

Kamu Harus Baca Juga ini :

Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang

Siaran Pers Sungai Batanghari Bukan Jalur Tambang Jambi- Problematika industri pertambangan Batubara dan proses pengangkutannya masih menjadi permasalahan serius yang belum bisa diatasi oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Pasca dilantiknya Gubernur...

Read More