Sebagaimana kita ketahui bersama, hukum dan keadilan terhadap akses sumberdaya alam masih menjauh dari rakyat terutama kelompok-kelompok rentan sampai saat ini. Kebijakan-kebijakan pemerintah terhadapa akses wilayah kelola sumberdaya alam masih sangat jauh dari harapan bersama.
Kebijakan yang selalu berpihak kepada pemodal dan korporasi, menampakan hukum begitu elitis sehingga menutup ruang-ruang keadilan rakyat dalam hal mendapatkan akses ruang kelola.
Rudiasnyah, Direktur WALHI Jambi saat membuka kegiatan Pelatihan |
Pada tanggal 1 Desember 2017 kemarin WALHI Jambi menyelenggarakan kegiatan Pelatihan PARALEGAL dengan tema “Membentuk Paralegal yang Memiliki Pengetahuan Dasar Hukum Dalam Mempertahankan Wilayah Kelolanya” di Desa Sungai Bungur Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi dan mengundang Abdul Wahid dari TuK Indonesia sebagai Pemateri di acara Pelatihan.
Provinsi Jambi seakan-akan menjadi sebuah wilayah miniatur kecil di Indonesia, dalam konteks kebijakan pengelolaan dan keadilan ruang kelola rakyatnya. Dari luas wilayah 5,1 Juta hektar, memiliki 9 Kabupaten 2 kota dan memiliki populasi penduduk mencapai 13,4 juta jiwa, Provinsi Jambi tetap tidak bisa menjauhkan diri dari ruang ketidakadilan rakyat dalam mengelola sumberdaya alamnya.
Rudiansyah Direktur Eksekutif WALHI Jambi menjelaskan,“Tujuan diadakannya pelatihan ini adalah untuk membekali masyarakat dengan pengetahuan dasar hukum yang dapat melindungi haknya dalam melakukan perjuangan untuk merebut dan mempertahankan wilayah kelolanya”.
Di kabupaten Tanjung Jabung Barat, PT. Wira Karya Sakti (HTI) telah meremuk redam harapan rakyat di 7 desanya. Rakyat dipaksa hanya untuk menjadi objek dari kebijakan pemerintahnya dalam pengelolaan kawasan hutan. Skema-skema yang menjadi kedok dari pembangunan industri berbasis hutan, hanya menjadi tipu muslihat dalam kerangka memperluas penguasaan wilayah kawasan hutan oleh korporasi.
Abdul Wahid, TuK Indonesia |
Di Kabupaten Muaro Jambi, perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Bukit Bintang Sawit (BBS), juga seakan-akan menikmati kenyamanan atas keberpihakan pemerintah terhadap kaum pemodal. 3 (Tiga) desa yang yang saat ini menjadi korban akibat politik ugal-ugalan yang dikeluarkan oleh pemerintah terhadap penguasaan wilayah APL oleh PT. BBS, telah mensirnahkan harapan dan mimpi orang tua di 3 (Tiga) desa untuk hidup layak dan penuh kesejahteraan.
Korban-korban politik kebijakan sumberdaya alam baik di sektor kehutanan maupun perkebunan, sampai ini masih terus melakukan perlawanan terhadap kebijakan yang dinilai oleh mereka tidak adil.
“Memberikan keterampilan dalam melakukan advokasi yang berkaitan dengan penerapan norma-norma hukum, khususnya dalam konteks kasus sumberdaya alam juga merupakan tujuan di adakannya pelatihan ini”. terang Rudiansyah.
Namun kadangkala, dalam memperjuangkan hak-haknya sebagaimana dijamin dalam UUD 1945, negara justru menilainya sebagai tindakan anarkhis, subversif, mengancam stabilitas keamanan dan ketertiban umum, atau malah melanggar hukum yang pada akhirnya berujung pada tuduhan perbuatan tidak menyenangkan, perbuatan melawan hukum, pencemaran nama baik, kriminalisasi, dll.